Total Tayangan Halaman

Senin, 10 Juni 2013

Fingerprint Test: Pendekatan Ilmu atau Keyakinan yang Sesat

Sebuah koreksi atas pemahaman (yang dipandang) berdasar meski tidak ada bukti ilmiah yang mendasarinya


Menarik dan sangat mengejutkan ketika sebuah undangan dari sekolah tempat saya mempercayakan buah hatiku untuk menuntut ilmu terdampar di meja ruang tamu. Menarik karena di surat undangan ada tema yang menggelitik, bertajuk “melihat bakat anak dengan sidik jari”, dan tambah mengagetkan ketika yang menyampaikan adalah seorang motivator yang ternyata adalah teman lama yang saya kenal awalnya sebagai seorang tijaroh yang jauh dari presepsi (dengan bakat terpendamnya) sebagai seorang mentor psikologi.

Ala kulli hal, bukan personalnya atau siapa motivatornya yang ingin saya bahas. Poinnya adalah ilmu yang ditawarkan ke audience yang dengan antusias mendengarnya. Tidak hanya dengan telinga, tapi saat diuraikan panjang lebar tubuh ikut menyimak dengan seksama, terkesima dengan sang motivator. Tampaknya tidak ada yang salah, namun setelah ditutupnya acara motivasi tersebut, bergelayut pertanyaan yang menggelitik akal sehatku.

Dua tahun belakangan ini, kami (baca: saya dan partner tidurku) sempat diskusi banyak hal soal NLP, aktivasi otak tengah, kemampuan otak kanan dan utakatik seputar otak-otak yang semuanya itu akhirnya disimpulkan adalah MITOS. Sedih rasanya ketika mitos ini dikonsumsi mentahan oleh teman-teman yang notabene temen ngaji, yang yakin jika beramal pasti sudah paham ilmunya dan ilmunya pun dicari yang ada atsarnya dan atsarnya pun rujukannya shohih dan terpilih (..iyalah kalo tak berdasar jadinya bid’ah, bid’ah jadinya sesat, sesat jadinya fi naar). Diantara mitos itupun sempat terbahas soal FPT (Fingerprint Test) yang diiklankan oleh salah satu produk susu formula terkenal. Lewat rujukan beberapa pemerhati psikolog dan parenting (gak wawancara langsung sih tapi lewat wasilah fadhilatusy syaikh google), kami semakin merasa yakin ini bagian dari sesatnya pemahaman yang berujung kesyirikan dan ingkarnya nikmat.


FPT (Fingerprint Test) atau tes sidik jari penentu bakat

Muhammad Fauzil Adhim seorang penulis, psikolog dan pemerhati parenting, menjelaskan materi tentang Finger Print Test, atau tes Sidik Jari. Hasilnya, sebagaimana pelatihan Otak Tengah (nan mahal itu), bahwa pengambilan dasar (baca: landasan teorinya) boleh dikatakan teramat minim. Menurut beliau Finger Print Test diklaim mampu memberikan gambaran anak, tentang bakatnya, apakah ia seorang yang suka pada alam (naturalis) atau logikanya yang kuat atau lebih senang kepada seni dan semacamnya. Inilah yang dipakai sebagai ‘dasar’ untuk mengembangkan potensi seorang anak, sedari dini.

Asal usul dari Finger Print Test ini, yang dasarnya dari teori pada tahun 1600-an. Dimana, masa itu, kepribadian diidentikkan –salah satunya- dengan bentuk tubuh, bentuk wajah dan seterusnya. Dari sinilah, teori Finger Print Test ini dibangun. Menyitir sebuah buku yang berjudul “Test Sidik Jari”, Fauzil mengatakan bahwa pada hakikatnya, Finger Print Test tak lebih seperti halnya “Ramalan Bintang”. Di beberapa kolom koran atau majalah, sering kita menjumpai rubrik ramalan bintang, yang meramalkan kondisi seseorang yang berbintang ini dan itu, kedepannya bagaimana.

Lantas, bagaimana bisa hasil Finger Print Test itu bisa dikatakan sama dengan Ramalan Bintang?

Orang yang percaya kepada Ramalan Bintang, ia percaya bahwa nasibnya (beberapa waktu ke depan), sudah ditetapkan. Padahal, masalah nasib seseorang di kemudian hari, adalah termasuk hal yang ghaib. Manusia dituntut untuk berusaha, dan baru kemudian bertawakal atas hasilnya. Sesuai dengan harapan, atau malah gagal.

Yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah bagaimana teori ini, mengalami sebuah ‘lompatan’ ketika dipakai sebagai dasar. Maksudnya, bagaimana bentuk dari finger print yang berpola ombak, diterjemahkan menjadi bentuk kepribadian tertentu. Ada “missing link”. Sebagai pengetahuan yang ilmiah, seharusnya ditunjang dengan bukti-bukti empiris, yang sayangnya, ini tidak didapatkan dari Finger Print Test ini.
Ini adalah merupakan ciri dari ilmu yang pseudo science. Dikatakan science akan tetapi tidak mempunyai bukti ilmiah (kalau tidak mau dikatakan sangat minim). Mirip seperti Neuro Linguistik Program (NLP) atau pelatihan Otak Tengah.
Padahal seorang muslim dalam berakidah meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada diri seseorang, kecuali atas kehendak Alloh. Bukan yang lainnya, seperti ramalan bintang, atau karena burung ini dan itu, atau yang lainnya(dikenal dengan istilah syar’i sebagai tathayyur).
Jadi, percaya kepada hasil test sidik jari ini, bisa berpengaruh kepada akidah seorang muslim. Orang tua, yang percaya bahwa anaknya begini dan begitu (karena hasil testnya demikian), mengarahkan ‘mati-matian’ agar anak bisa berkembang secara optimal dengan bakatnya itu. Padahal, test tersebut dibangun dengan tingkat keilmiahan yang rendah, disamping –sebagai muslim- kita percaya bahwa Alloh-lah yang menentukan nasib seseorang. Bukan hasil test.


FPT dalam kacamata FISIOLOGI dan PSIKOLOGI


Memang, dalam kasus-kasus tertentu, sidik jari bisa dipakai sebagai dasar. Misalnya saja, untuk keperluan masalah kriminalitas. Sidik jari manusia yang berbeda satu dengan yang lainnya, bisa diidentifikan secara ilmiah. Kalau untuk ini, tidak ada masalah. Tetapi, masalah terjadi ketika sidik jari, menjadi tools utama untuk menentukan nasib seseorang. Sebuah ‘lompatan’ teori yang cukup sensasional!
Jika merujuk pada Hadist Shahih Bukhari, pada Kitab Al Faraid, Bab Al Qaif, halaman 798 hadits nomer 6771;

Dari Azzuhri dari Urwah dari Aisyah telah berkata suatu hari Rasulullah masuk ke rumahku dengan wajah ceria, beliau berkata wahai Aisyah tahukah engkau bahwa Mujazziz al Mudliji masuk melihat Usamah bin Zaid dan Zaid (ayahnya) sedang tidur berselimut menutupi kepala keduanya, sedangkan telapak kaki mereka nampak jelas, kemudian ia (Mujazziz Al Mudliji) berkata; sesungguhnya telapak kaki telapak kaki ini sebagiannya dari yang lainnya.


Hadist yang senada juga bersumber dari Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hal 339 Kitab Ar Radha (menyusui) Bab Al Amal Bi Ilhaq Qaif Al Walad; dengan penambahan informasi bahwa Mujazziz itu seorang Qaif.
Tampaknya atsar hadits ini yang dijadikan rujukan para penggemar FPT untuk membela diri dari uppercut mereka yang sinis memandangnya. Namun perlu dicermati, hadist ini menguraikan FPT dalam arti FISIOLOGI. Artinya, kebenarannya mutlak karena berhubungan dengan fisik dan bukan psikis. Sekali lagi dalil FPT ini yang kita sepakati dan tidak terbantahkan karena yang dijelaskan adalah runtutan fisik. Sebagaimana jika kita memahami ilmu astronomi yang boleh dipelajari karena berhubungan dengan rukyatul hilal, perhitungan rotasi dan revolusi bintang serta penentuan waktu. Hal ini sama relevansinya saat FPT ditinjau dari fisiologi karena berhubungan dengan kriminalitas (crime identification suspect), DNA dan gangguan jiwa (schizophrenia).
Namun ilmu astronomi yang berkembang dengan metodologi pseudoscince (ilmu tanpa dasar) menjadi astrologi yang menyesatkan akidah, seperti ramalan bintang, zodiac dan ilmu nujum. Nah, jika ditinjau dari background settingnya, FPT psikologi adalah penguraian FPT fisiologi yang tanpa dasar dengan kaidah ilmu pengetahuan yang lemah (kalau tidak boleh dikatakan dusta). Meski banyak testimony yang menghiasi di kanan kirinya, namun tetaplah bukan banyaknya orang sebagai ukuran kebenaran. Meski ada beberapa literature tentang FPT psikologi tapi kebanyakan dan hampir sebagian besarnya tidak menjelaskan darimana runtutan biologi menjadi lompatan psikologi yang diyakini kebenarannya, sebagaimana astrologi yang sering (dipaksa) dikaitkan dengan astronomi meski lemah dan sangat minim keterkaitannya.


Lalu sesatnya FPT dimana??!

Sebagaimana penjelasan diatas soal FPT dilihat dari sudut pandang fisiologi, maka dapat disimpulkan bahwa hal ini adalah ilmiah. Namun jika dikaitkan dengan Psikologi maka kesimpulannya tidak ilmiah, sebagaimana tidak ilmiahnya cerita Superman yang dikalahkan batu krypton, meskipun beraroma ilmiah dan yang senang ngelihat filmnya buanyaknya sak ndayak (termasuk yang nulis).
Fingerprint test untuk bakat, satu lagi industri mitos. Tidak pernah ada evidence, sebagaimana pseudoscience lainnya, comot sana comot sini dan mengepas-ngepaskan dengan isu terkini hal yang selalu terjadi. Sidik jari hanya bisa menunjukkan siapa yang mencuri jambu di belakang rumah kita, tapi tidak mungkin bisa mendeteksi alasan mengapa seseorang mencuri jambu. Apalagi sampai menelisik karakter, bakat dan sejumlah istilah wah lainnya. Uang itu hijau, meskipun warnanya merah.

Sungguh, merupakan DUSTA YANG KEJI mereka yang berkata dan menyampaikan tanpa ilmu. Melalui berbagai trik, seseorang dapat menyenangkan para orangtua sesaat. Tapi sungguh, kita tidak boleh bermain-main dengan nasib anak kaum muslimin ini. Setiap anak kaum muslimin adalah aset dakwah bagi tegaknya kalimat Alloh Ta’ala di muka bumi berpuluh tahun yang akan datang. Ataukah mereka sedang mendo’akan kebinasaan bagi anaknya sendiri? Bagaimana mungkin mereka yang menyampaikan tidak merasa yakin kebenaran yang mereka sampaikan. Jika khilah para motivator ini adalah pendekatan ilmu bukan keyakinan, maka ilmu yang mana dan dari mana, lalu apa gunanya dilakukan dengan bayaran mahal.

Menjadikan ilmu tanpa dasar sebagai pijakan dan dianggap rujukan dalam beramal merupakan dosa disisi Alloh. Mengajarkannya dan meyakinkan mereka meski tak berilmu merupakan perbuatan menyesatkan. Sesat akan berujung ke neraka.

Menjadikan testimony, hasil survey dan semua hal yang mengaku banyak orang telah melakukan, untuk dijadikan dasar ilmiah dan kebenaran adalah pandangan yang keliru. Bukankah Alloh telah mengingatkan, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh)” Al-An'am: 116.

Ketika nasihat terakhir menutup pesan singkat ponsel saya kepada teman motivator FPT berbunyi “pending dulu tuh ST*F**nya, baca lagi Al Isra’ ayat 36…”, dijawab “ bagi saya FPT tidak ada masalah, saya khan menyampaikan pendekatan ilmu bukan keyakinan…”, innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Bagaimana mungkin dikatakan bukan sebuah keyakinan jika yang disampaikan (lewat presentasi) menggambarkan keseksamaan metode ini di klaim 80 sampai 90%. Apakah klaim ini tidak mendasari keyakinan bahwa ilmu baru ini sudah TERBUKTI dan layak untuk dipakai. Atau kalau pun toh akhirnya sang motivator TIDAK meyakininya sebagai keyakinan, tapi apakah mungkin sanggup dengan jujur mengatakan kepada audience bahwa jangan YAKIN dengan ilmu ini. Lalu apakah mungkin semua audience berpikiran ‘ini adalah pendekatan dan bukan keyakinan’. So, kalau gak yakin kenapa sampai keringat mruntus (jawa, baca:bercucuran) belajar, mengajar, memotivasi FPT dengan harga nan mahal?
Akhirnya harus tawakal, diterima nasihatnya ya syukur, nggak dipakai juga nggak boleh meradang. Teriring doa, ya Alloh tunjukan yang benar itu benar dan berikan rezeki bagi kami untuk mengikutinya, dan tunjukan kapada kami yang salah itu salah dan berilah kami rezeki untuk menghindarinya….Wallohu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan kasih komen...OK