Total Tayangan Halaman

Senin, 10 Juni 2013

Fingerprint Test: Pendekatan Ilmu atau Keyakinan yang Sesat

Sebuah koreksi atas pemahaman (yang dipandang) berdasar meski tidak ada bukti ilmiah yang mendasarinya


Menarik dan sangat mengejutkan ketika sebuah undangan dari sekolah tempat saya mempercayakan buah hatiku untuk menuntut ilmu terdampar di meja ruang tamu. Menarik karena di surat undangan ada tema yang menggelitik, bertajuk “melihat bakat anak dengan sidik jari”, dan tambah mengagetkan ketika yang menyampaikan adalah seorang motivator yang ternyata adalah teman lama yang saya kenal awalnya sebagai seorang tijaroh yang jauh dari presepsi (dengan bakat terpendamnya) sebagai seorang mentor psikologi.

Ala kulli hal, bukan personalnya atau siapa motivatornya yang ingin saya bahas. Poinnya adalah ilmu yang ditawarkan ke audience yang dengan antusias mendengarnya. Tidak hanya dengan telinga, tapi saat diuraikan panjang lebar tubuh ikut menyimak dengan seksama, terkesima dengan sang motivator. Tampaknya tidak ada yang salah, namun setelah ditutupnya acara motivasi tersebut, bergelayut pertanyaan yang menggelitik akal sehatku.

Dua tahun belakangan ini, kami (baca: saya dan partner tidurku) sempat diskusi banyak hal soal NLP, aktivasi otak tengah, kemampuan otak kanan dan utakatik seputar otak-otak yang semuanya itu akhirnya disimpulkan adalah MITOS. Sedih rasanya ketika mitos ini dikonsumsi mentahan oleh teman-teman yang notabene temen ngaji, yang yakin jika beramal pasti sudah paham ilmunya dan ilmunya pun dicari yang ada atsarnya dan atsarnya pun rujukannya shohih dan terpilih (..iyalah kalo tak berdasar jadinya bid’ah, bid’ah jadinya sesat, sesat jadinya fi naar). Diantara mitos itupun sempat terbahas soal FPT (Fingerprint Test) yang diiklankan oleh salah satu produk susu formula terkenal. Lewat rujukan beberapa pemerhati psikolog dan parenting (gak wawancara langsung sih tapi lewat wasilah fadhilatusy syaikh google), kami semakin merasa yakin ini bagian dari sesatnya pemahaman yang berujung kesyirikan dan ingkarnya nikmat.


FPT (Fingerprint Test) atau tes sidik jari penentu bakat

Muhammad Fauzil Adhim seorang penulis, psikolog dan pemerhati parenting, menjelaskan materi tentang Finger Print Test, atau tes Sidik Jari. Hasilnya, sebagaimana pelatihan Otak Tengah (nan mahal itu), bahwa pengambilan dasar (baca: landasan teorinya) boleh dikatakan teramat minim. Menurut beliau Finger Print Test diklaim mampu memberikan gambaran anak, tentang bakatnya, apakah ia seorang yang suka pada alam (naturalis) atau logikanya yang kuat atau lebih senang kepada seni dan semacamnya. Inilah yang dipakai sebagai ‘dasar’ untuk mengembangkan potensi seorang anak, sedari dini.

Asal usul dari Finger Print Test ini, yang dasarnya dari teori pada tahun 1600-an. Dimana, masa itu, kepribadian diidentikkan –salah satunya- dengan bentuk tubuh, bentuk wajah dan seterusnya. Dari sinilah, teori Finger Print Test ini dibangun. Menyitir sebuah buku yang berjudul “Test Sidik Jari”, Fauzil mengatakan bahwa pada hakikatnya, Finger Print Test tak lebih seperti halnya “Ramalan Bintang”. Di beberapa kolom koran atau majalah, sering kita menjumpai rubrik ramalan bintang, yang meramalkan kondisi seseorang yang berbintang ini dan itu, kedepannya bagaimana.

Lantas, bagaimana bisa hasil Finger Print Test itu bisa dikatakan sama dengan Ramalan Bintang?

Orang yang percaya kepada Ramalan Bintang, ia percaya bahwa nasibnya (beberapa waktu ke depan), sudah ditetapkan. Padahal, masalah nasib seseorang di kemudian hari, adalah termasuk hal yang ghaib. Manusia dituntut untuk berusaha, dan baru kemudian bertawakal atas hasilnya. Sesuai dengan harapan, atau malah gagal.

Yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah bagaimana teori ini, mengalami sebuah ‘lompatan’ ketika dipakai sebagai dasar. Maksudnya, bagaimana bentuk dari finger print yang berpola ombak, diterjemahkan menjadi bentuk kepribadian tertentu. Ada “missing link”. Sebagai pengetahuan yang ilmiah, seharusnya ditunjang dengan bukti-bukti empiris, yang sayangnya, ini tidak didapatkan dari Finger Print Test ini.
Ini adalah merupakan ciri dari ilmu yang pseudo science. Dikatakan science akan tetapi tidak mempunyai bukti ilmiah (kalau tidak mau dikatakan sangat minim). Mirip seperti Neuro Linguistik Program (NLP) atau pelatihan Otak Tengah.
Padahal seorang muslim dalam berakidah meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada diri seseorang, kecuali atas kehendak Alloh. Bukan yang lainnya, seperti ramalan bintang, atau karena burung ini dan itu, atau yang lainnya(dikenal dengan istilah syar’i sebagai tathayyur).
Jadi, percaya kepada hasil test sidik jari ini, bisa berpengaruh kepada akidah seorang muslim. Orang tua, yang percaya bahwa anaknya begini dan begitu (karena hasil testnya demikian), mengarahkan ‘mati-matian’ agar anak bisa berkembang secara optimal dengan bakatnya itu. Padahal, test tersebut dibangun dengan tingkat keilmiahan yang rendah, disamping –sebagai muslim- kita percaya bahwa Alloh-lah yang menentukan nasib seseorang. Bukan hasil test.


FPT dalam kacamata FISIOLOGI dan PSIKOLOGI


Memang, dalam kasus-kasus tertentu, sidik jari bisa dipakai sebagai dasar. Misalnya saja, untuk keperluan masalah kriminalitas. Sidik jari manusia yang berbeda satu dengan yang lainnya, bisa diidentifikan secara ilmiah. Kalau untuk ini, tidak ada masalah. Tetapi, masalah terjadi ketika sidik jari, menjadi tools utama untuk menentukan nasib seseorang. Sebuah ‘lompatan’ teori yang cukup sensasional!
Jika merujuk pada Hadist Shahih Bukhari, pada Kitab Al Faraid, Bab Al Qaif, halaman 798 hadits nomer 6771;

Dari Azzuhri dari Urwah dari Aisyah telah berkata suatu hari Rasulullah masuk ke rumahku dengan wajah ceria, beliau berkata wahai Aisyah tahukah engkau bahwa Mujazziz al Mudliji masuk melihat Usamah bin Zaid dan Zaid (ayahnya) sedang tidur berselimut menutupi kepala keduanya, sedangkan telapak kaki mereka nampak jelas, kemudian ia (Mujazziz Al Mudliji) berkata; sesungguhnya telapak kaki telapak kaki ini sebagiannya dari yang lainnya.


Hadist yang senada juga bersumber dari Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hal 339 Kitab Ar Radha (menyusui) Bab Al Amal Bi Ilhaq Qaif Al Walad; dengan penambahan informasi bahwa Mujazziz itu seorang Qaif.
Tampaknya atsar hadits ini yang dijadikan rujukan para penggemar FPT untuk membela diri dari uppercut mereka yang sinis memandangnya. Namun perlu dicermati, hadist ini menguraikan FPT dalam arti FISIOLOGI. Artinya, kebenarannya mutlak karena berhubungan dengan fisik dan bukan psikis. Sekali lagi dalil FPT ini yang kita sepakati dan tidak terbantahkan karena yang dijelaskan adalah runtutan fisik. Sebagaimana jika kita memahami ilmu astronomi yang boleh dipelajari karena berhubungan dengan rukyatul hilal, perhitungan rotasi dan revolusi bintang serta penentuan waktu. Hal ini sama relevansinya saat FPT ditinjau dari fisiologi karena berhubungan dengan kriminalitas (crime identification suspect), DNA dan gangguan jiwa (schizophrenia).
Namun ilmu astronomi yang berkembang dengan metodologi pseudoscince (ilmu tanpa dasar) menjadi astrologi yang menyesatkan akidah, seperti ramalan bintang, zodiac dan ilmu nujum. Nah, jika ditinjau dari background settingnya, FPT psikologi adalah penguraian FPT fisiologi yang tanpa dasar dengan kaidah ilmu pengetahuan yang lemah (kalau tidak boleh dikatakan dusta). Meski banyak testimony yang menghiasi di kanan kirinya, namun tetaplah bukan banyaknya orang sebagai ukuran kebenaran. Meski ada beberapa literature tentang FPT psikologi tapi kebanyakan dan hampir sebagian besarnya tidak menjelaskan darimana runtutan biologi menjadi lompatan psikologi yang diyakini kebenarannya, sebagaimana astrologi yang sering (dipaksa) dikaitkan dengan astronomi meski lemah dan sangat minim keterkaitannya.


Lalu sesatnya FPT dimana??!

Sebagaimana penjelasan diatas soal FPT dilihat dari sudut pandang fisiologi, maka dapat disimpulkan bahwa hal ini adalah ilmiah. Namun jika dikaitkan dengan Psikologi maka kesimpulannya tidak ilmiah, sebagaimana tidak ilmiahnya cerita Superman yang dikalahkan batu krypton, meskipun beraroma ilmiah dan yang senang ngelihat filmnya buanyaknya sak ndayak (termasuk yang nulis).
Fingerprint test untuk bakat, satu lagi industri mitos. Tidak pernah ada evidence, sebagaimana pseudoscience lainnya, comot sana comot sini dan mengepas-ngepaskan dengan isu terkini hal yang selalu terjadi. Sidik jari hanya bisa menunjukkan siapa yang mencuri jambu di belakang rumah kita, tapi tidak mungkin bisa mendeteksi alasan mengapa seseorang mencuri jambu. Apalagi sampai menelisik karakter, bakat dan sejumlah istilah wah lainnya. Uang itu hijau, meskipun warnanya merah.

Sungguh, merupakan DUSTA YANG KEJI mereka yang berkata dan menyampaikan tanpa ilmu. Melalui berbagai trik, seseorang dapat menyenangkan para orangtua sesaat. Tapi sungguh, kita tidak boleh bermain-main dengan nasib anak kaum muslimin ini. Setiap anak kaum muslimin adalah aset dakwah bagi tegaknya kalimat Alloh Ta’ala di muka bumi berpuluh tahun yang akan datang. Ataukah mereka sedang mendo’akan kebinasaan bagi anaknya sendiri? Bagaimana mungkin mereka yang menyampaikan tidak merasa yakin kebenaran yang mereka sampaikan. Jika khilah para motivator ini adalah pendekatan ilmu bukan keyakinan, maka ilmu yang mana dan dari mana, lalu apa gunanya dilakukan dengan bayaran mahal.

Menjadikan ilmu tanpa dasar sebagai pijakan dan dianggap rujukan dalam beramal merupakan dosa disisi Alloh. Mengajarkannya dan meyakinkan mereka meski tak berilmu merupakan perbuatan menyesatkan. Sesat akan berujung ke neraka.

Menjadikan testimony, hasil survey dan semua hal yang mengaku banyak orang telah melakukan, untuk dijadikan dasar ilmiah dan kebenaran adalah pandangan yang keliru. Bukankah Alloh telah mengingatkan, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh)” Al-An'am: 116.

Ketika nasihat terakhir menutup pesan singkat ponsel saya kepada teman motivator FPT berbunyi “pending dulu tuh ST*F**nya, baca lagi Al Isra’ ayat 36…”, dijawab “ bagi saya FPT tidak ada masalah, saya khan menyampaikan pendekatan ilmu bukan keyakinan…”, innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Bagaimana mungkin dikatakan bukan sebuah keyakinan jika yang disampaikan (lewat presentasi) menggambarkan keseksamaan metode ini di klaim 80 sampai 90%. Apakah klaim ini tidak mendasari keyakinan bahwa ilmu baru ini sudah TERBUKTI dan layak untuk dipakai. Atau kalau pun toh akhirnya sang motivator TIDAK meyakininya sebagai keyakinan, tapi apakah mungkin sanggup dengan jujur mengatakan kepada audience bahwa jangan YAKIN dengan ilmu ini. Lalu apakah mungkin semua audience berpikiran ‘ini adalah pendekatan dan bukan keyakinan’. So, kalau gak yakin kenapa sampai keringat mruntus (jawa, baca:bercucuran) belajar, mengajar, memotivasi FPT dengan harga nan mahal?
Akhirnya harus tawakal, diterima nasihatnya ya syukur, nggak dipakai juga nggak boleh meradang. Teriring doa, ya Alloh tunjukan yang benar itu benar dan berikan rezeki bagi kami untuk mengikutinya, dan tunjukan kapada kami yang salah itu salah dan berilah kami rezeki untuk menghindarinya….Wallohu a’lam.

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 02 Februari 2012

KETIKA SEDEKAH MENJADI MUSNAH..

Sedekah...sedekah...akhi…berharap segera dapat ganti lebih banyak lagi…seakan pengin dunia segera lari menghampiri...jika belum maka sedekah lagi...ya Robbi, jangan jangan bukan ridho Alloh yang dicari..Apa begini ajaran nabi?
 
Seorang teman berkata, 'aku sedang kena musibah…bisnisku seret', maka datang nasihat ustadz, '..anda banyak maksiyat segeralah bertobat dan perbanyak sedekah,…nanti Alloh ganti dengan lebih banyak lagi'. Bla…bla…bla ustadz pun mendetilkan nasihatnya di tambah testimony dari beberapa orang yang telah melakukan nasihatnya,…dan endingnya sangat ‘luar biasa’ menggugah semangat untuk sedekah …menakjubkan.


Tampaknya tidak ada yang salah dengan nasihat ustadz. Nasihatnya berpotensi untuk menyegerakan amal yang berpahala, memotivasi dalam bersedekah dan menyemangati untuk pesrah karena rezeki sudah ada Yang Ngatur. Namun, tendensi sampingan tak bisa dielakkan, focus pikiran untuk harap harap cemas datangnya segera rezeki yang diterima, berharap cash and carry dari selipan amal dan doa yang dilantunkan,… jika belum kunjung hadir maka ditambah lagi (sedekahnya) demi mempercepat kehadirannya, akhirnya jika belum dapat dapat juga su’udzon sedikit merayap atau jika ternyata didapat maka testimonipun segera diungkap, teriring dalil lalu terucap “dan terhadap ni’mat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”…cerita pun mengalir dari bagaimana dia bersedekah (bahkan didetilkan berapa jumlahnya) hingga Alloh membalasnya.


Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima amalan kecuali yang dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Sebanyak apa pun sedekah yang engkau berikan, meski bermilyar-milyar engkau keluarkan, tak akan bernilai kecuali jika memenuhi dua hal, yakni ikhlas dan benar. Ikhlas berarti amal shalih itu dilakukan semata-mata hanya untuk Allah Ta’ala dan tidak berharap kecuali ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Kita berharap sepenuh hati dengan rasa takut yang amat sangat sekiranya ada salah dalam niat, iktikad maupun perbuatan dan di saat yang sama penuh harap kepada Allah Ta’ala agar Allah ‘Azza wa Jalla ridha serta merahmati kita. Benar berarti amal shalih itu kita lakukan berdasarkan petunjuk yang pasti dari Allah Ta’ala dan rasul-Nya.

Sesungguhnya, setiap ‘ibadah pada asalnya dilarang kecuali yang diperintahkan atau dianjurkan. Semua ini memerlukan nash yang pasti. Jika tak ada nash yang shahih dan terang, maka tak ada kebolehan untuk melakukan suatu bentuk ‘ibadah. Betapa banyak manusia yang mengada-adakan peribadatan atau amalan sehingga mengesankan bagi manusia tentang betapa shalihnya dia, tetapi tak ada satu pun nash yang dapat menjadi pegangan. Allah Ta’ala dan rasul-Nya tidak memerintahkan, tidak pula membolehkan suatu peribadatan, tetapi sebagian manusia menciptakan sendiri suatu bentuk ‘ibadah dengan menisbahkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Allah Ta’ala berfirman

من كان يريد الحياة الدنيا وزينتها نوف إليهم أعمالهم فيها وهم فيها لا يبخسون

“Barangsiapa yg menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Huud, 11: 15).

أولئك الذين ليس لهم في الآخرة إلا النار وحبط ما صنعوا فيها وباطل ما كانوا يعملون

“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Huud, 11: 16).

Bersedekahlah dan berharaplah dengan sepenuh pengharapan kepada Allah Ta'ala semoga Allah Ta'ala menerima dan ridha dengan sedekah kita. Tetapi jangan bersedekah karena bermaksud mendapat lebih banyak demi melipatgandakan rezeki. Sesungguhnya, mereka yang beramal untuk akhirat niscaya Allah Ta'ala akan lipat-gandakan pahalanya di akhirat. Adapun di dunia, maka boleh jadi Allah Ta'ala akan berikan, boleh jadi tidak. Tetapi yang pasti, niatkan sedekah itu untuk Allah Ta'ala semata. Bukan untuk mendapat yang lebih banyak.



Sebuah kalimat menarik yang sering kita dengar, "para pecandu sedekah, tidak akan pernah takut jatuh miskin. Sebab bayangan menjadi miskin saat ingin bersedekah diyakini sebagai khayali dari setan, "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui." QS. Al-Baqarah[2] : 268). Sebaliknya, mereka meyakini dengan sepenuh hati, bahwa sedekah akan membuat harta mereka bertambah subur, "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa" QS. Al-Baqarah [2] : 276) dan melimpah ruah. Itulah janji Allah dalam firman-firman-Nya. Semakin diyakini dan diamalkan janji-janji itu, semakin nyata Allah membuktikannya. 


Allah adalah dzat yang paling baik pelayanan-Nya, paling murah pemberian-Nya dan paling baik balasan-Nya. Meskipun tidak semua orang lapang rezekinya, tidak pula semua sempit rezekinya, tetapi balasan Allah bagi yang bersedekah tetaplah balasan yang terbaik untuk hamba-Nya "Sesungguhnya Tuhan-Ku Melapangkan Rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara Hamba-hamba-Nya dan Menyempitkan bagi (siapa yang Dikehendaki-Nya)." (QS. Saba' [34] : 39). Bahkan begitu baik balasan Allah, Dia menjanjikan kelipatan tuju ratus kali bagi setiap satu butir biji sedekah yang ditanam pelakunya "perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui".(QS. Al-Baqarah [2] : 261), Subhanallah.


Namun, kadang salah pandang kita terhadap uraian diatas menyebabkan kita salah tafsir. Sedekah bukan untuk melipatgandakan rezeki di dunia, tapi pasti akan dilipatgandakan pahalanya di akhirat. Jika Alloh memberikan kita rezeki di dunui dengan berlipat setelah sedekah, jangan jangan pahala kita di akhirat berkurang, sebagaimana kekhawatiran Abdurrahman bin Auf yang menangis saat dihidangkan dihadapannya makanan yang mengundang selera, "Mush'ab bin Umair syahid dan ia lebih baik dariku,  ia dikafani dengan selimut yang apabila ditarik untuk menutupi kepalanya maka bagian kakinya akan kelihatan, begitu pula Hamzah syahid, ia lebih baik dariku, dan tidak ada sehelai kafan pun kecuali selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami dan dunia diberikan kami sedemikian rupa. aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia"

Teringat firman Allah Ta'ala:

ولا تمنن تستكثر ولربك فاصبر

"Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah." (QS. Al-Muddatsir, 74: 6-7).

Takutlah akan neraka, tempat mengerikan yang salah satu dari 3 penghuni pertamanya adalah ahli sedekah yang ia bersedekah bukan karena Allah 'Azza wa Jalla. Periksalah Shahih Muslim bab Al-Jihad.

Apakah kita tidak boleh meminta kepada Allah Ta'ala? Amat boleh. Kita meminta kepada Allah Ta'ala karena yakin kepada-Nya, beriman kepada-Nya dan untuk memenuhi perintah-Nya, yakni perintah untuk meminta hanya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Kita memohon kepada Allah Ta'ala karena menyadari hanya Dia tempat bergantung. Bukan karena merasa telah memberi kepada-Nya.

Ingatlah ketika Allah Ta'ala berfirman:

وأمر أهلك بالصلاة واصطبر عليها لا نسألك رزقا نحن نرزقك والعاقبة للتقوى

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (QS. Thaahaa, 20: 132).

Allah Ta'ala yang memberi. Bukan kita.

namun sekali lagi, point nya adalah ridho Alloh dulu bukan berlipatnya rezeki yang kita dapatkan di dunia setelah bersedekah.  Jika Alloh ridho maka tidak ada doa yang kita panjatkan yang tak dikabulkan, namun jika memang belum dikabulkan yakinlah bahwa PASTI Alloh akan memberikannya di akhirat, innalloha la tukhliful mi’ad.
Akhina, ingatlah ketika Abdurrahman bin auf menangis saat makanan nikmat terhidang dihadapannya, para sahabat bertanya mengapa beliau menangis, jawab beliau, “ Rasululloh meninggal dalam keadaan ia dan keluarganya belum pernah kenyang makan roti gandum. Aku tidak melihat kita diakhirkan (untuk mati), karena sesuatu yang lebih baik bagi kita.”. Tapi memang kelas kita beda dengan para sahabat..mereka diberi kekayaan sehingga kekayaan itu membuat mereka lebih banyak lagi untuk sedekah, namun sulit bagi saya menemukan riwayat mereka bersedekah untuk mengharap datangnya rezeki yang berlimpah di dunia. Yang banyak ditemui adalah mereka menghamburkan hartanya untuk bersedekah karena keinginan mereka agar tidak berlama-lama menunggu susahnya hisab di akhirat.
Semoga Allah Ta'ala berikan hidayah kepada kita dan merahmati kita di akhirat kelak. Allahumma amin.

Do'akan dan nasehati saya dengan hujjah yang kuat.

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 05 November 2011

Berkaca pada keluarga Ibrahim Alaihis Salam



Alloh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ إِنِّى ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّى سَيَہۡدِينِ (٩٩) رَبِّ هَبۡ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ (١٠٠) فَبَشَّرۡنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍ۬ (١٠١) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰ‌ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ‌ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ (١٠٢) فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُ ۥ لِلۡجَبِينِ (١٠٣) وَنَـٰدَيۡنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبۡرَٲهِيمُ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآ‌ۚ إِنَّا كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَـٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيۡنَـٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٍ۬ (١٠٧) وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِى ٱلۡأَخِرِينَ (١٠٨) سَلَـٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٲهِيمَ (١٠٩) كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١١٠) إِنَّهُ ۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (١١١)

Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai [pada umur sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis [nya], [nyatalah kesabaran keduanya]. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu , sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, [yaitu] "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Al-Quran surat al-Shofat ayat 99 – 111

Pernah suatu saat ketika edisi ketiga keluarga Al Faini, bertitel Farhan Ahmad (6th) menjawab sebuah pertanyaan dari guru, “Kaki kuda ada? …..” serta merta dijawabnya,…ada dagingnya..!! mendengarnya sang ummi tersenyum geli, bukan cuma tersenyum pada jawaban bocah kelas 1 SD itu, tapi geli membaca pertanyaan pada soal jawab yang diberikan oleh sang guru (ustadzah anakku memanggilnya) yang dirasa kurang menjelaskan maksud dan tujuan jawaban dari pertanyaan itu. Bisa jadi jawabannya berkembang tidak hanya daging, mungkin bisa dijawab dengan ada kotoran, atau lumpur atau yang lain. Dan semua jawabannya benar,.. tidak ada yang salah, karena soalnya tidak jelas. Tidak beda ketika seorang anak (putra saudara jauh) menjawab pertanyaan yang hampir sama. “Lubang hidung manusia ada?....”, jika jawabannya “dua” mungkin itu yang diharapkan sang guru, namun jika jawabannya “ada kotoran hidung (upil)” itupun tidak salah menurut sangkaan sang bocah. Lalu apanya yang salah? Jelas yang salah adalah mereka yang paham tentang persoalan namun nggak paham menjelaskannya pada sang bocah. Missing link antara persepsi dewasa dan bocah yang tertranslate kurang pas hingga menimbulkan maksud yang jauh berbeda.

Nabi Alloh Ibrahim Alaihis Salam sangat memperhatikan hal ini. Ketika perintah dari Robbnya disampaikan kepada anaknya yang semata wayang, untuk menyembelih dan mengorbankan nyawanya, jawaban tegas putra tercinta membuat sontak kelegaan sang Ayah karena begitu dekatnya pemahaman persepsi meski beda usia. Persepsi bahwa perintah Penguasa Alam Semesta yang tidak boleh ditolak dan diingkari, persepsi yang dibangun sejak kelahiran Ismail dan ditinggal hanya bersama ibunda Hajar di gurun pasir sepi tak berpenghuni. Persepsi yang meyakini bahwa Robbul izzati pasti akan senantiasa melindungi. Keyakinan yang begitu kuat dan bimbingan yang terus menerus menjadikan Ismail bayi tumbuh menjadi anak yang pemberani dan berbakti untuk menerima segala perintah meski diluar akal sehat orang banyak disekitarnya. Ketika pemahaman yang sudah match dan sejalan maka tidak ada kekuatan yang mampu menggoda, meski rayuan dan iming-iming syetan selalu membayangi.

Keluarga Ibrahim adalah contoh dari keluarga yang mempunyai visi, misi dan tujuan yang sama di setiap anggota keluarganya. Visi untuk beribadah pada Alloh semata, dengan misi sebagai rosul untuk menyampaikan kepada manusia dengan tujuan hanya mengharap keridhoanNya. Ibrahim muda tumbuh dalam keberanian menentang adat keluarga pembuat berhala sehingga harus berurusan dengan detasemen khusus Namrudz laknatulloh alaih. Sang istri terpola dan terdidik untuk tangguh dalam menjajal medan perjuangan berat, bersama bayinya Ismail sendiri menyusuri shofa dan marwa. Sedangkan putranya Ismail menjadi anak yang taat dan begitu tangguh bermental baja hasil tempaan sang ayahanda dalam belantara dan kerasnya gurun pasir tandus, Allohu Akbar walillahillhamd.

Ala kulli hal, kepingin rasanya berjuang menyusuri sisa-sisa umur bersama keluarga seperti Ibrahim Alaihissalam, meski sebatas kemampuan yang ada. Memantabkan hati untuk istiqomah dan selalu teguh dalam menjalankan perintahNya dan berusaha sekuat tenaga untuk lari dari laranganNya. Mendidik istri tercinta dan anak tersayang untuk selalu rela berkorban di setiap kesempatan, tanpa terlalu berharap balasan dunia yang kan datang. Memikirkan dunia adalah sebuah hal yang lumrah, tapi jika menempatkannya di hati maka rasa memilikinya akan membuat kita takut akan kematian, menjauhkan dari jihad, dan bakhil terhadap perjuangan. Maka seuntai do'a kupanjatkan wahai istri dan anak-anakku, semoga kalian dikaruniai sifat iffah yang dengan hijabnya diri kalian dapat terhindar dari kehinaan, dikaruniai sifat hilm agar kalian menjadi pribadi yang murah hati, dan dikaruniai sifat qona’ah agar kalian menjadi manusia-manusia paling kaya dalam kesabaran. Tetaplah istiqomah dalam berjuang, selalu taat dan patuh kepada perintah yang ma’ruf, jangan bersedih…dan tersenyumlah.



[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 04 November 2011

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu ‘boot keras’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseoran mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.

“Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana ‘abduka… Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustaz…InsyaALlah tempatmu di Syurga.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

“Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami.”

Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,

“Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto berusaha
memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. “Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.

“Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

“Ah…seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini.”

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak – kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi…”

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi…Abi…Abi…” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

“Hai…siapa kamu?!” jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawabnya memohon belas kasih. “Hah…siapa namamu budak, cuba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah…” dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba “Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai budak…! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’…Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.”

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeria, “Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tha…” Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah…’. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya…”

[+/-] Selengkapnya...

Aku Muslim, Aku Prajurit Setia (Diskriminasi dunia militer USA)

“Aku prajurit Amerika, seorang warga negara, dan seorang patriot. Tapi dalam tatapan kecurigaan, aku minoritas sesat yang tidak memiliki hubungan inklusif dengan pemerintahan nasional Amerika. Aku hanya seorang muslim.”

Demikian Yee menulis di bagian akhir kesaksiannya atas kebrutalan tentara Amerika atas dirinya dan tawanan muslim yang lain.

James Yee adalah seorang mualaf lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di AS. Mulanya, ia adalah pemeluk Kristen Lutheran. Ia memilih untuk memeluk Islam ketika ke Suriah. Setelah lulus dari West Point ia bertemu dengan seorang wanita bernama Huda yang kemudian menjadi istrinya. James Yee lulus dari West Point pada tahun 1990, mengabdi di Angkatan Darat AS selama empat belas tahun, termasuk tugas di Arab Saudi pasca-Perang Teluk I. Setelah memeluk Islam pada tahun 1991, ia belajar Islam dan bahasa Arab di Damaskus- Suriah selama empat tahun. Ia telah dua kali menunaikan ibadah haji ke Makkah.

Pada awal 2001, dia kembali ke dinas militer di tengah sentimen AS yang kuat terhadap Islam pasca tragedi WTC. Di penjara Guantanamo (Gitmo) dia ditugaskan sebagai ulama militer (chaplain) yang melayani seluruh tahanan yang semuanya muslim. Penjara Gitmo yang berada di Kuba adalah tempat meringkuknya tawanan yang dituduh berkomplot dengan Osama bin Laden dan mantan Pasukan Taliban.

Ketika tiba di Guantanamo, Yee menemukan banyak sekali kebrutalan yang dilakukan terhadap orang-orang Muslim yang menjadi tahanan di sana. Namun karena awalnya ia menganggap kebrutalan ini dilandasi oleh ketidaktahuan, Yee justru memandang kondisi ini sebagai tantangan baginya. Yee tidak hanya ingin memberikan pelayanan spiritual kepada para tahanan, namun ia juga ingin mendidik para personel militer AS tentang Islam.

Sayangnya, hal inilah yang menyeretnya ke dalam kubangan masalah. Karena memperlakukan para tahanan dengan hormat dan bermartabat, bicara yang baik-baik tentang Islam, serta memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan, Yee malah dipandang sebagai teroris, dipandang sebagai musuh.

Karena James Yee seorang Muslim, ia dicurigai dan diperlakukan semena-mena olah para prajurit lain. Para prajurit itu mengabaikan perintah-perintahnya sebagai Kapten Angkatan Darat AS. Ini merupakan tindakan indisipliner, namun tak ada tindak lanjutnya. Ini membuktikan bahwa seorang Muslim tidak bisa menjadi tentara sungguhan di AS, apalagi menjadi perwira.

Sebagian besar kebrutalan yang dilakukan terhadap James Yee dan para tahanan lain di Guantanamo merupakan tanggung jawab Jenderal Geoffrey Miller, orang yang berkuasa di Guantanamo. Jenderal Miller sepertinya punya dendam dan kebencian pribadi terhadap Yee dan kaum Muslimin. Entah apa motifnya.

Keyakinan Kristen Miller sendiri yang radikal dipercaya ikut andil dalam segala tindak-tanduknya di Guantanamo. Namun, sayangnya, James Yee-lah yang menghadapi dakwaan kriminal, buka Miller. Yee-lah yang terpaksa mengundurkan diri, bukannya Miller. Padahal Miller-lah—beserta sejumlah perwira senior lainnya—yang seharusnya dipecat dengan tidak hormat dari dinas militer.

Kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan mencoba bunuh diri. Pelecehan terhadap Islam dipertontonkan oleh para penjaga. Alquran dilempar, ditendang, diinjak dan dirobek. Lemparan batu juga dilakukan pada tahanan yang sedang shalat berjamaah. Di Kamp X-ray dan Delta tahanan dipaksa berlutut berjam-jam di bawah panggangan matahari, sementara kaki dan tangan diborgol. Jika meratap minta minum, maka para penjaga memberinya tendangan. Tidak hanya itu, tahanan juga disuruh mandi air kencing dan kotorannya.

Amerika rupanya enggan menerapkan Konvensi Jenewa kepada tahanan muslim di kamp militer Guantanamo.

Penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap tahanan muslim di Penjara Guantanamo bukanlah isapan jempol. Ratusan orang yang terkurung di kamp militer Amerika Serikat itu mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi.

James Yee membeberkan kekejaman tentara Amerika di Penjara Guantanamo berdasarkan kesaksiannya saat bertugas di sana. Pelecehan dan pembunuhan karakter dialaminya. Hanya karena Yee beragama Islam dan berusaha berbuat lebih beradab. Juga karena ia seorang imam muslim—dai (pendakwah)– di lingkungan militer Amerika yang berupaya meluruskan kekeliruan pemahaman tentang Islam kepada temannya sesama prajurit. Kisah tragis yang dialami Yee, tentara Amerika keturunan Cina berpangkat kapten ini, berawal dari masa dinasnya di Guantanamo.

Dalam kurun 10 bulan bertugas di Kamp Delta—sebutan untuk delapan blok penjara itu—ia menjadi saksi kekejaman yang dialami para tahanan. “Bahkan mereka tidak mendapatkan perlindungan seperti yang tercantum dalam Konvensi Jenewa,” papar Yee memberi kesaksian.

Pemerintahan Presiden George W. Bush dan kalangan militer enggan menerapkan konvensi itu kepada tahanan muslim yang disebutnya sebagai teroris. Para “pejuang” muslim, musuh Amerika dari berbagai negara, tidak memperoleh haknya sebagai tahanan perang.

Dapat dipastikan, penganiayaan terhadap tahanan dan pelecehan kitab suci Al-Qur’an kerap terjadi saat tahanan menjalani pemeriksaan. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran untuk membersihkan lantai. Aku sering menemukan sobekan lembar Alquran di lantai. Hampir setiap hari terjadi pertikaian keras antara penjaga dan tahanan yang berujung penyiksaan. Terkadang prajurit Amerika yang bukan muslim sengaja membuat keributan selagi tahanan tengah beribadah.

Tak jarang pula tahanan dipaksa meninggalkan shalat untuk menjalani pemeriksaan. “Lambat laun aku sadar bahwa usahaku untuk memberikan pengajaran tentang toleransi membuat kecurigaan mereka semakin dalam,” tulis Yee. Dan siapa pun yang bertugas di kamp itu harus tetap menjaga kerahasiaan tentang apa pun yang dilihat dan dialami.

Diam-diam, gerak-gerik prajurit yang bertugas pun selalu diawasi oleh agen rahasia pemerintah, baik dari FBI maupun badan intelijen militer. Yee yang sejak masuk Islam menambahkan Yusuf dalam namanya, tak luput dari pengawasan. Hingga akhirnya, Yee diciduk pada 10 September 2003 di Bandara Jacksonville, Florida.

Selama 10 hari dia dikurung di sel dan diperlakukan seperti tahanan. Diperiksa dengan telanjang, tidak diberi makan, diborgol tangan dan kaki, pengaburan panca indera, serta perlakuan lainnya tanpa mempertimbangkan bahwa dia adalah seorang perwira angkatan darat.

”Mereka tidak peduli pangkatku kapten, lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli agamaku melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan resmi terhadapku. Mereka tidak peduli istri dan anak-anakku tidak mengetahui keberadaanku. Mereka pun jelas tidak peduli kalau aku adalah warga Amerika yang setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah”.

Sejak saat itu, beragam tuduhan dilontarkan untuk menjeratnya. Pengkhianatan, persekongkolan dengan teroris, hingga isu perselingkuhan ditebar. Sejumlah koran Amerika sendiri sempat terjebak pada kekeliruan informasi yang disebar intel.

Mereka menyebut Yusuf Yee sebagai antek Taliban. Isu perselingkuhan yang sengaja ditebar ke koran nyaris menghancurkan rumah tangganya. Teror dan fitnah juga dilancarkan agar istrinya juga turut membencinya.

Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua butir peluru di tangan lainnya. “Ajari aku cara menggunakannya,” bisik wanita itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua hal yang pernah dilalui James Yee—penahanan, tuduhan spionase, 76 hari di dikurung di sel isolasi—ini adalah yang terburuk.

Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini. Yee merasa tak berdaya…

Yang lebih mencengangkan, ada anak di bawah umur dijebloskan ke penjara ini dengan tuduhan sebagai anggota jaringan teroris. Seorang di antaranya adalah Omar Khadir, bocah muslim asal Kanada yang baru berusia 15 tahun.

Kesaksian James Yee ini kian menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di penjara-penjara khusus Amerika. Yee menyebutkan, perang melawan terorisme yang dicanangkan Presiden Bush melahirkan kegilaan di kalangan militer Amerika. Yee menjadi korban kegilaan itu.

Pengalaman kelam selama lebih dari satu tahun dalam tahanan militer memberinya pelajaran berharga. Kondisi militer Amerika jauh dari gambaran ideal Yee. Perbedaan dan kehormatan serta kemerdekaan menjalankan agama tidak dijamin.

Agama dan keyakinan ternyata masih menjadi masalah utama di dunia militer negeri yang mengaku demokratis itu. “Mereka tidak mempertimbangkan bahwa aku adalah seorang prajurit yang setia,” tulis James Yee.

Kesaksian Yee ini layaknya film drama produksi Hollywood. Seorang perwira militer Amerika Serikat dijebloskan ke penjara berdasarkan sangkaan spionase, melakukan pemberontakan, menghasut, membantu musuh, dan menjadi pengkhianat militer dan negara.

Tapi semuanya tidak terbukti dan akhirnya perwira itu dibebaskan dari semua dakwaan. Kapten James Yee, perwira itu, mendapatkan perlakuan tak beradab dari militer AS karena dia beragama Islam dan reaksi paranoid AS terhadap Islam yang sama sekali tak beralasan.

Tapi publik AS tahu bahwa itu bohong. Sementara kredibilitas militer AS runtuh akibat kecerobohannya dalam kasus ini. Bahkan New York Times edisi 24 Maret 2006 menurunkan tajuk rencana berjudul “Ketidakadilan Militer”.

Meskipun sama sekali bersih dari tuntutan, namun keinginannya untuk tetap mengabdi pada Tuhan dan negara pupus. Yee “terpaksa” mundur dari militer pada 7 Januari 2005. Sayangnya, karier militer dan reputasinya telah lebih dulu hancur. Bahkan hingga kini statusnya masih ‘dalam pengawasan’.

AS benar-benar paranoid. Siapa pun yang dianggap musuh, apa pun dilakukan. Tidak peduli itu bertentangan dengan hak asasi manusia, keadilan konvensi internasional, atau hal lainnya yang selalu digemborkannya sendiri.

Kasus Yee dan Penjara Guantanamo makin merontokkan citra AS di mata publik dunia. Kini penutupan penjara Gitmo sedang dipertimbangkan karena tekanan dunia internasional melalui PBB, termasuk sekutu dekatnya, Inggris dan Italia. Sekitar 500 tahanan dari 35 negara kini masih meringkuk dalam penjara itu.

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Yee adalah peran media massa. Saat proses penahanan, lengkap sudah penderitaan Yee. Bukan saja dipenjarakan tanpa bukti, namun dia juga telah dihakimi oleh media massa (trial by the press) sebelum pengadilan digelar. Pers AS seperti Washington Post, New York Times, Guardian, Dll. yang mendengungkan hak asasi, justru bersifat tendensius dan tidak cover both sie. Informasi yang disajikan adalah versi militer AS.

Namun keteledoran pers tersebut ditebus dengan kritik pedas terhadap pemerintah setelah tuduhan terhadap Yee tidak terbukti. Artikel, tajuk rencana, dan berita-berita yang disuguhkan semuanya berupa pembelaan, bahkan sebagian media massa minta maaf pada Yee.

Patriotisme Yee musnah di mata pemerintah AS hanya karena dia sebagai Muslim taat menjalankan tugasnya sesuai ajaran agama dan perintah negara. Tapi dunia tahu bahwa dia adalah seorang patriot sejati yang hidupnya diabdikan kepada Tuhan dan negaranya.

Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh. Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya. Kita seakan muak dengan kebijakan-kebijakan AS di bawah Bush dengan segala tindak-tanduk primitifnya yang mengacak-acak peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan.

Apakah ‘perang melawan terorisme’ yang digagas Amerika Serikat (AS) benar-benar perang yang ditujukan untuk melawan ekstremisme demi tegaknya demokrasi? Ataukah label itu hanya bungkus bagi perang melawan Islam? Para pejabat AS di lingkaran Bush bersikeras bahwa agenda mereka bersifat politis, bukan religius. Namun faktanya, retorika dan tindak-tanduk AS di lapangan mengubah perang melawan terorisme menjadi perang melawan Islam

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 26 Oktober 2011

Membiasakan Kebenaran bukan Membenarkan Kebiasaan

KALAU anak-anak itu kelak tak menjadikan Robbnya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Alloh. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Alloh kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Alloh dalam suasana menakutkan.

Mereka mengenal Alloh dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Alloh ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Alloh hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang. Astaghfirullohal ‘adziim…

Anak-anak kita sering mendengar nama Alloh ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat "keliru" –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Alloh terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, "Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Alloh nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa."

Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, "E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…? Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Alloh murka, lho."

Setiap saat nama Alloh yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara "mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari". Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka "menjauh" karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Alloh dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.

Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Alloh.

Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Alloh kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.

Mendidik anak tidak sama persis dengan mengajar. Jika mengajar tidak membutuhkan penjelasan tentang tujuan, arah dan prinsip dalam proses transfer knowledge, maka mendidik mendetailkan persoalan itu. Dalam konsep Islam, pendidikan atau biasa disebut tarbiyah, memiliki titik tekan yang sangat fundamental. Menjadikan anak sholih sebagai program utama kehidupan sangatlah tepat dalam menyusuri lintasan amanah tugas di dunia pendidikan. Namun adakalanya tujuan, orientasi dan prinsip tentang kehidupan sebagai seorang muslim kabur atau bahkan tidak dipahami oleh hampir sebagian besar pendidik di lingkungan pendidikan islam. Meski memposisikan diri sebagai TK Islam Terpadu tak jarang melenceng dari tujuan mencetak generasi robbani. Seringnya dijumpai penyaluran potensi kreativitas, atau lebih tepat potensi sensualitas, dalam mengeksplorasi anak didiknya untuk melenggak lenggok menari diiringi music yang bernuansa islami. Sangat mencengangkan dan memilukan, meski mahal toh masih banyak yang berminat untuk ditipu.
Kembali ke masalah tujuan, orientasi dan prinsip, bahwa tujuan kita adalah beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, namun itupun tidak beda dengan ibadahnya kaum toriqot yang melakukan penambahan ibadah bertujuan semata-mata hanya beribadah kepada Alloh. Lalu apa yang salah? Orientasi atau arah yang kita inginkan adalah yang sesuai sunnah rasululloh, lalu apa bedanya dengan dengan teman2 di muhammadiyah? Prinsip pun tidak beda dengan teman2 seperjuangan dalam tarbiyah, lantas apa yang membuat lain? Apa kita hanya sekedar beda, ashobiyah, ini jalan saya, yang lainnya tidak tepat dan sebagainya? Mungkin lupa atau jangan-jangan memang kita belum paham dengan ini semua, lalu bagaimana mungkin persoalan besar dalam mendidik ummat bisa diatas pundak kita.
Mari kita ingat kembali tentang ketiga hal tersebut. Benar tujuan kita adalah Alloh Azza wa Jalla sesuai arahan rosululloh dengan prinsip jihad fie sabilillah sebagai jalannya. Jadi akan sangat beda tujuan, arah dan prinsip kita dengan competitor lain, sekali lagi bukan sekedar beda atau berbeda dengan lainnya, tapi yang jelas ini adalah track yang dijalani oleh rosul dan sahabat. Bukan sekedar mengajar tapi mendidik, tidak sekedar banyaknya peminat tapi penekanan terhadap pewarisan nilai-nali perjuangan, dan bukan pula sekedar mencari ma’isyah tapi lebih jauh lagi yakni mengokohkan eksistensi kita di tengah ummat dengan tarbiyah islamiyah yang jelas orientasinya bukan sekedar tarbiyah bernuansa islamiyah.
Tidak ada anak yang bandel. Kitalah yang tidak tahu bagaimana mengajak bicara, menyemangati, dan memberikan arah hidup bagi mereka. Kitalah yang lupa untuk bermain bersama, bercanda, dan bercerita agar hati mereka dekat dengan kita. Padahal kita tahu kedekatan hati itulah yang membuat anak akan mendengar kata-kata kita.

Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka. Setiap anak–asal normal—lahir dalam keadaan jenius dan penuh rasa ingin tahu. Kitalah yang mematikannya dengan hadiah-hadiah, bahkan di saat mereka tidak menginginkannya.

Kita lupa bahwa anak-anak pada awalnya tidak memerlukan hadiah untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tanpa hadiah, anak-anak tetap bersemangat belajar merangkak dan berjalan, meski harus beberapa kali tersungkur.

Anak-anak tidak pernah meminta uang untuk satu kosa kata baru yang mereka kuasai di waktu kecil. Mereka belajar karena ingin tahu. Mereka melakukan hal-hal besar yang bermanfaat karena bersemangat. Bukan karena menghindari hukuman. Bukan juga untuk mengharap imbalan.
Pernahkah bayi Anda sakit? Apa yang terjadi padanya? Ya, dia akan rewel jika sakitnya sudah benar-benar sangat mengganggu. Lebih-lebih pada malam hari ketika kantuknya datang dan mata tak kunjung bisa terpejam. Tetapi begitu dia mulai sedikit sehat (belum sehat betul), rasa sakit yang mendera tak dirasakannya lagi. Ia bermain-main dengan gembira. Tertawa renyah, berlari-lari, dan berceloteh. Padahal badannya masih panas, nafasnya masih tersengal, dan batuknya belum sepenuhnya reda.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari anak-anak kita yang lucu itu? Fokus dan antusiasme. Pada saat perhatian kita fokus pada satu hal, kita cenderung tidak peka terhadap hal-hal lain sekalipun itu sebenarnya kurang nyaman bagi diri kita. Rasa sakit kita menghilang karena hampir seluruh energi kita mengarah pada sesuatu yang menjadi fokus kita. Semakin kuat fokus kita, semakin besar perhatian kita, serta semakin tinggi kepekaan kita terhadap hal tersebut. Pada saat yang sama kita cenderung mengabaikan hal-hal lain.

Ketika fokus perhatian kita terhadap pendidikan anak sangat kuat, membaca buku sejarah atau politik pun memantik insight tentang pendidikan anak. kita tercenung sejenak, lalu melihat ada yang keliru pada kita saat anak terjatuh. Bukan mengajarinya memahami apa yang terjadi, apa konsekuensinya dan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk masa-masa berikutnya. Tetapi kita menyalahkan sekeliling dan bila perlu melakukan tindakan naif untuk mencari pembenaran.
Hush, itu ayamnya yang nakal. Kita hibur anak sembari melemparkan sandal kita ke arah ayam di seberang sana, atau kita salahkan lantai yang tak bersalah, dan jadilah anak kita belajar menjadi pengecut. Anak terhibur, tetapi kehilangan kesempatan belajar. Anak segera reda tangisnya, tetapi kehilangan daya tahan menghadapi tantangan. Ia belajar melemahkan dirinya sendiri karena orangtua mengajarkannya demikian. Ia tidak belajar memahami tindakannya dan mengendalikan sekeliling. Ia hanya belajar mengendalikan orang tua dan menyalahkan sekeliling. Tidak memahamkan tujuan, orientasi dan prinsip hidup, dan inilah tragedi yang kita tanam sendiri pada jiwa anak-anak kita!


Oleh: Abu Al Faini (disadur dari tulisan Fauzil Adhim dan beberapa sumber)

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 02 November 2010

Nak, Untukmu Pesan Ini Kutulis.....

Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.

Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap….

Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.

Aku namakan dirimu Fakhri Mafaza al Faini karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba yang mendapatkan kemenangan dari-Nya, kutitipkan do'a lewat namamu Faruq Imaduddin Al Faini agar engkau dapat membedakan yang haq dan bathil dan menjadi penyangga dien ini, lalu kuabadikan nama Rosululloh dinamamu, Farhan Ahmad Al Faini, yang dengannya engkau meneladaninya dengan sukacita, lalu kuselipkan harapanku kepada Alloh agar engkau dijadikan mutiara yang tiada duanya dan santun dalam menaatiNya wahai anakku Farid Ibadurrahman Al Faini, dan semoga kalian semua dapat memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat.

Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada do’a yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw. pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.
Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?

Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaaq: 1-5).

Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab ra., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”
Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7).

Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatuLlah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.
Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam ‘aqidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.
Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung-jawab dan lupa pada diri sendiri.

Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.

Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.
Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.
Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.


Reposting Abu mafaza, sumber tulisan dari Fauzil Adhim

[+/-] Selengkapnya...