Total Tayangan Halaman

Sabtu, 05 November 2011

Berkaca pada keluarga Ibrahim Alaihis Salam



Alloh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ إِنِّى ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّى سَيَہۡدِينِ (٩٩) رَبِّ هَبۡ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ (١٠٠) فَبَشَّرۡنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍ۬ (١٠١) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰ‌ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ‌ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ (١٠٢) فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُ ۥ لِلۡجَبِينِ (١٠٣) وَنَـٰدَيۡنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبۡرَٲهِيمُ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآ‌ۚ إِنَّا كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَـٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيۡنَـٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٍ۬ (١٠٧) وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِى ٱلۡأَخِرِينَ (١٠٨) سَلَـٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٲهِيمَ (١٠٩) كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١١٠) إِنَّهُ ۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (١١١)

Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku [seorang anak] yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai [pada umur sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis [nya], [nyatalah kesabaran keduanya]. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu , sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, [yaitu] "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Al-Quran surat al-Shofat ayat 99 – 111

Pernah suatu saat ketika edisi ketiga keluarga Al Faini, bertitel Farhan Ahmad (6th) menjawab sebuah pertanyaan dari guru, “Kaki kuda ada? …..” serta merta dijawabnya,…ada dagingnya..!! mendengarnya sang ummi tersenyum geli, bukan cuma tersenyum pada jawaban bocah kelas 1 SD itu, tapi geli membaca pertanyaan pada soal jawab yang diberikan oleh sang guru (ustadzah anakku memanggilnya) yang dirasa kurang menjelaskan maksud dan tujuan jawaban dari pertanyaan itu. Bisa jadi jawabannya berkembang tidak hanya daging, mungkin bisa dijawab dengan ada kotoran, atau lumpur atau yang lain. Dan semua jawabannya benar,.. tidak ada yang salah, karena soalnya tidak jelas. Tidak beda ketika seorang anak (putra saudara jauh) menjawab pertanyaan yang hampir sama. “Lubang hidung manusia ada?....”, jika jawabannya “dua” mungkin itu yang diharapkan sang guru, namun jika jawabannya “ada kotoran hidung (upil)” itupun tidak salah menurut sangkaan sang bocah. Lalu apanya yang salah? Jelas yang salah adalah mereka yang paham tentang persoalan namun nggak paham menjelaskannya pada sang bocah. Missing link antara persepsi dewasa dan bocah yang tertranslate kurang pas hingga menimbulkan maksud yang jauh berbeda.

Nabi Alloh Ibrahim Alaihis Salam sangat memperhatikan hal ini. Ketika perintah dari Robbnya disampaikan kepada anaknya yang semata wayang, untuk menyembelih dan mengorbankan nyawanya, jawaban tegas putra tercinta membuat sontak kelegaan sang Ayah karena begitu dekatnya pemahaman persepsi meski beda usia. Persepsi bahwa perintah Penguasa Alam Semesta yang tidak boleh ditolak dan diingkari, persepsi yang dibangun sejak kelahiran Ismail dan ditinggal hanya bersama ibunda Hajar di gurun pasir sepi tak berpenghuni. Persepsi yang meyakini bahwa Robbul izzati pasti akan senantiasa melindungi. Keyakinan yang begitu kuat dan bimbingan yang terus menerus menjadikan Ismail bayi tumbuh menjadi anak yang pemberani dan berbakti untuk menerima segala perintah meski diluar akal sehat orang banyak disekitarnya. Ketika pemahaman yang sudah match dan sejalan maka tidak ada kekuatan yang mampu menggoda, meski rayuan dan iming-iming syetan selalu membayangi.

Keluarga Ibrahim adalah contoh dari keluarga yang mempunyai visi, misi dan tujuan yang sama di setiap anggota keluarganya. Visi untuk beribadah pada Alloh semata, dengan misi sebagai rosul untuk menyampaikan kepada manusia dengan tujuan hanya mengharap keridhoanNya. Ibrahim muda tumbuh dalam keberanian menentang adat keluarga pembuat berhala sehingga harus berurusan dengan detasemen khusus Namrudz laknatulloh alaih. Sang istri terpola dan terdidik untuk tangguh dalam menjajal medan perjuangan berat, bersama bayinya Ismail sendiri menyusuri shofa dan marwa. Sedangkan putranya Ismail menjadi anak yang taat dan begitu tangguh bermental baja hasil tempaan sang ayahanda dalam belantara dan kerasnya gurun pasir tandus, Allohu Akbar walillahillhamd.

Ala kulli hal, kepingin rasanya berjuang menyusuri sisa-sisa umur bersama keluarga seperti Ibrahim Alaihissalam, meski sebatas kemampuan yang ada. Memantabkan hati untuk istiqomah dan selalu teguh dalam menjalankan perintahNya dan berusaha sekuat tenaga untuk lari dari laranganNya. Mendidik istri tercinta dan anak tersayang untuk selalu rela berkorban di setiap kesempatan, tanpa terlalu berharap balasan dunia yang kan datang. Memikirkan dunia adalah sebuah hal yang lumrah, tapi jika menempatkannya di hati maka rasa memilikinya akan membuat kita takut akan kematian, menjauhkan dari jihad, dan bakhil terhadap perjuangan. Maka seuntai do'a kupanjatkan wahai istri dan anak-anakku, semoga kalian dikaruniai sifat iffah yang dengan hijabnya diri kalian dapat terhindar dari kehinaan, dikaruniai sifat hilm agar kalian menjadi pribadi yang murah hati, dan dikaruniai sifat qona’ah agar kalian menjadi manusia-manusia paling kaya dalam kesabaran. Tetaplah istiqomah dalam berjuang, selalu taat dan patuh kepada perintah yang ma’ruf, jangan bersedih…dan tersenyumlah.



[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 04 November 2011

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu ‘boot keras’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseoran mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.

“Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana ‘abduka… Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustaz…InsyaALlah tempatmu di Syurga.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

“Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami.”

Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,

“Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto berusaha
memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. “Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.

“Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

“Ah…seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini.”

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak – kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi…”

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi…Abi…Abi…” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

“Hai…siapa kamu?!” jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawabnya memohon belas kasih. “Hah…siapa namamu budak, cuba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah…” dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba “Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai budak…! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’…Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.”

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeria, “Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tha…” Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah…’. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya…”

[+/-] Selengkapnya...

Aku Muslim, Aku Prajurit Setia (Diskriminasi dunia militer USA)

“Aku prajurit Amerika, seorang warga negara, dan seorang patriot. Tapi dalam tatapan kecurigaan, aku minoritas sesat yang tidak memiliki hubungan inklusif dengan pemerintahan nasional Amerika. Aku hanya seorang muslim.”

Demikian Yee menulis di bagian akhir kesaksiannya atas kebrutalan tentara Amerika atas dirinya dan tawanan muslim yang lain.

James Yee adalah seorang mualaf lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di AS. Mulanya, ia adalah pemeluk Kristen Lutheran. Ia memilih untuk memeluk Islam ketika ke Suriah. Setelah lulus dari West Point ia bertemu dengan seorang wanita bernama Huda yang kemudian menjadi istrinya. James Yee lulus dari West Point pada tahun 1990, mengabdi di Angkatan Darat AS selama empat belas tahun, termasuk tugas di Arab Saudi pasca-Perang Teluk I. Setelah memeluk Islam pada tahun 1991, ia belajar Islam dan bahasa Arab di Damaskus- Suriah selama empat tahun. Ia telah dua kali menunaikan ibadah haji ke Makkah.

Pada awal 2001, dia kembali ke dinas militer di tengah sentimen AS yang kuat terhadap Islam pasca tragedi WTC. Di penjara Guantanamo (Gitmo) dia ditugaskan sebagai ulama militer (chaplain) yang melayani seluruh tahanan yang semuanya muslim. Penjara Gitmo yang berada di Kuba adalah tempat meringkuknya tawanan yang dituduh berkomplot dengan Osama bin Laden dan mantan Pasukan Taliban.

Ketika tiba di Guantanamo, Yee menemukan banyak sekali kebrutalan yang dilakukan terhadap orang-orang Muslim yang menjadi tahanan di sana. Namun karena awalnya ia menganggap kebrutalan ini dilandasi oleh ketidaktahuan, Yee justru memandang kondisi ini sebagai tantangan baginya. Yee tidak hanya ingin memberikan pelayanan spiritual kepada para tahanan, namun ia juga ingin mendidik para personel militer AS tentang Islam.

Sayangnya, hal inilah yang menyeretnya ke dalam kubangan masalah. Karena memperlakukan para tahanan dengan hormat dan bermartabat, bicara yang baik-baik tentang Islam, serta memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan, Yee malah dipandang sebagai teroris, dipandang sebagai musuh.

Karena James Yee seorang Muslim, ia dicurigai dan diperlakukan semena-mena olah para prajurit lain. Para prajurit itu mengabaikan perintah-perintahnya sebagai Kapten Angkatan Darat AS. Ini merupakan tindakan indisipliner, namun tak ada tindak lanjutnya. Ini membuktikan bahwa seorang Muslim tidak bisa menjadi tentara sungguhan di AS, apalagi menjadi perwira.

Sebagian besar kebrutalan yang dilakukan terhadap James Yee dan para tahanan lain di Guantanamo merupakan tanggung jawab Jenderal Geoffrey Miller, orang yang berkuasa di Guantanamo. Jenderal Miller sepertinya punya dendam dan kebencian pribadi terhadap Yee dan kaum Muslimin. Entah apa motifnya.

Keyakinan Kristen Miller sendiri yang radikal dipercaya ikut andil dalam segala tindak-tanduknya di Guantanamo. Namun, sayangnya, James Yee-lah yang menghadapi dakwaan kriminal, buka Miller. Yee-lah yang terpaksa mengundurkan diri, bukannya Miller. Padahal Miller-lah—beserta sejumlah perwira senior lainnya—yang seharusnya dipecat dengan tidak hormat dari dinas militer.

Kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan mencoba bunuh diri. Pelecehan terhadap Islam dipertontonkan oleh para penjaga. Alquran dilempar, ditendang, diinjak dan dirobek. Lemparan batu juga dilakukan pada tahanan yang sedang shalat berjamaah. Di Kamp X-ray dan Delta tahanan dipaksa berlutut berjam-jam di bawah panggangan matahari, sementara kaki dan tangan diborgol. Jika meratap minta minum, maka para penjaga memberinya tendangan. Tidak hanya itu, tahanan juga disuruh mandi air kencing dan kotorannya.

Amerika rupanya enggan menerapkan Konvensi Jenewa kepada tahanan muslim di kamp militer Guantanamo.

Penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap tahanan muslim di Penjara Guantanamo bukanlah isapan jempol. Ratusan orang yang terkurung di kamp militer Amerika Serikat itu mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi.

James Yee membeberkan kekejaman tentara Amerika di Penjara Guantanamo berdasarkan kesaksiannya saat bertugas di sana. Pelecehan dan pembunuhan karakter dialaminya. Hanya karena Yee beragama Islam dan berusaha berbuat lebih beradab. Juga karena ia seorang imam muslim—dai (pendakwah)– di lingkungan militer Amerika yang berupaya meluruskan kekeliruan pemahaman tentang Islam kepada temannya sesama prajurit. Kisah tragis yang dialami Yee, tentara Amerika keturunan Cina berpangkat kapten ini, berawal dari masa dinasnya di Guantanamo.

Dalam kurun 10 bulan bertugas di Kamp Delta—sebutan untuk delapan blok penjara itu—ia menjadi saksi kekejaman yang dialami para tahanan. “Bahkan mereka tidak mendapatkan perlindungan seperti yang tercantum dalam Konvensi Jenewa,” papar Yee memberi kesaksian.

Pemerintahan Presiden George W. Bush dan kalangan militer enggan menerapkan konvensi itu kepada tahanan muslim yang disebutnya sebagai teroris. Para “pejuang” muslim, musuh Amerika dari berbagai negara, tidak memperoleh haknya sebagai tahanan perang.

Dapat dipastikan, penganiayaan terhadap tahanan dan pelecehan kitab suci Al-Qur’an kerap terjadi saat tahanan menjalani pemeriksaan. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran untuk membersihkan lantai. Aku sering menemukan sobekan lembar Alquran di lantai. Hampir setiap hari terjadi pertikaian keras antara penjaga dan tahanan yang berujung penyiksaan. Terkadang prajurit Amerika yang bukan muslim sengaja membuat keributan selagi tahanan tengah beribadah.

Tak jarang pula tahanan dipaksa meninggalkan shalat untuk menjalani pemeriksaan. “Lambat laun aku sadar bahwa usahaku untuk memberikan pengajaran tentang toleransi membuat kecurigaan mereka semakin dalam,” tulis Yee. Dan siapa pun yang bertugas di kamp itu harus tetap menjaga kerahasiaan tentang apa pun yang dilihat dan dialami.

Diam-diam, gerak-gerik prajurit yang bertugas pun selalu diawasi oleh agen rahasia pemerintah, baik dari FBI maupun badan intelijen militer. Yee yang sejak masuk Islam menambahkan Yusuf dalam namanya, tak luput dari pengawasan. Hingga akhirnya, Yee diciduk pada 10 September 2003 di Bandara Jacksonville, Florida.

Selama 10 hari dia dikurung di sel dan diperlakukan seperti tahanan. Diperiksa dengan telanjang, tidak diberi makan, diborgol tangan dan kaki, pengaburan panca indera, serta perlakuan lainnya tanpa mempertimbangkan bahwa dia adalah seorang perwira angkatan darat.

”Mereka tidak peduli pangkatku kapten, lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli agamaku melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan resmi terhadapku. Mereka tidak peduli istri dan anak-anakku tidak mengetahui keberadaanku. Mereka pun jelas tidak peduli kalau aku adalah warga Amerika yang setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah”.

Sejak saat itu, beragam tuduhan dilontarkan untuk menjeratnya. Pengkhianatan, persekongkolan dengan teroris, hingga isu perselingkuhan ditebar. Sejumlah koran Amerika sendiri sempat terjebak pada kekeliruan informasi yang disebar intel.

Mereka menyebut Yusuf Yee sebagai antek Taliban. Isu perselingkuhan yang sengaja ditebar ke koran nyaris menghancurkan rumah tangganya. Teror dan fitnah juga dilancarkan agar istrinya juga turut membencinya.

Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua butir peluru di tangan lainnya. “Ajari aku cara menggunakannya,” bisik wanita itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua hal yang pernah dilalui James Yee—penahanan, tuduhan spionase, 76 hari di dikurung di sel isolasi—ini adalah yang terburuk.

Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini. Yee merasa tak berdaya…

Yang lebih mencengangkan, ada anak di bawah umur dijebloskan ke penjara ini dengan tuduhan sebagai anggota jaringan teroris. Seorang di antaranya adalah Omar Khadir, bocah muslim asal Kanada yang baru berusia 15 tahun.

Kesaksian James Yee ini kian menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di penjara-penjara khusus Amerika. Yee menyebutkan, perang melawan terorisme yang dicanangkan Presiden Bush melahirkan kegilaan di kalangan militer Amerika. Yee menjadi korban kegilaan itu.

Pengalaman kelam selama lebih dari satu tahun dalam tahanan militer memberinya pelajaran berharga. Kondisi militer Amerika jauh dari gambaran ideal Yee. Perbedaan dan kehormatan serta kemerdekaan menjalankan agama tidak dijamin.

Agama dan keyakinan ternyata masih menjadi masalah utama di dunia militer negeri yang mengaku demokratis itu. “Mereka tidak mempertimbangkan bahwa aku adalah seorang prajurit yang setia,” tulis James Yee.

Kesaksian Yee ini layaknya film drama produksi Hollywood. Seorang perwira militer Amerika Serikat dijebloskan ke penjara berdasarkan sangkaan spionase, melakukan pemberontakan, menghasut, membantu musuh, dan menjadi pengkhianat militer dan negara.

Tapi semuanya tidak terbukti dan akhirnya perwira itu dibebaskan dari semua dakwaan. Kapten James Yee, perwira itu, mendapatkan perlakuan tak beradab dari militer AS karena dia beragama Islam dan reaksi paranoid AS terhadap Islam yang sama sekali tak beralasan.

Tapi publik AS tahu bahwa itu bohong. Sementara kredibilitas militer AS runtuh akibat kecerobohannya dalam kasus ini. Bahkan New York Times edisi 24 Maret 2006 menurunkan tajuk rencana berjudul “Ketidakadilan Militer”.

Meskipun sama sekali bersih dari tuntutan, namun keinginannya untuk tetap mengabdi pada Tuhan dan negara pupus. Yee “terpaksa” mundur dari militer pada 7 Januari 2005. Sayangnya, karier militer dan reputasinya telah lebih dulu hancur. Bahkan hingga kini statusnya masih ‘dalam pengawasan’.

AS benar-benar paranoid. Siapa pun yang dianggap musuh, apa pun dilakukan. Tidak peduli itu bertentangan dengan hak asasi manusia, keadilan konvensi internasional, atau hal lainnya yang selalu digemborkannya sendiri.

Kasus Yee dan Penjara Guantanamo makin merontokkan citra AS di mata publik dunia. Kini penutupan penjara Gitmo sedang dipertimbangkan karena tekanan dunia internasional melalui PBB, termasuk sekutu dekatnya, Inggris dan Italia. Sekitar 500 tahanan dari 35 negara kini masih meringkuk dalam penjara itu.

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Yee adalah peran media massa. Saat proses penahanan, lengkap sudah penderitaan Yee. Bukan saja dipenjarakan tanpa bukti, namun dia juga telah dihakimi oleh media massa (trial by the press) sebelum pengadilan digelar. Pers AS seperti Washington Post, New York Times, Guardian, Dll. yang mendengungkan hak asasi, justru bersifat tendensius dan tidak cover both sie. Informasi yang disajikan adalah versi militer AS.

Namun keteledoran pers tersebut ditebus dengan kritik pedas terhadap pemerintah setelah tuduhan terhadap Yee tidak terbukti. Artikel, tajuk rencana, dan berita-berita yang disuguhkan semuanya berupa pembelaan, bahkan sebagian media massa minta maaf pada Yee.

Patriotisme Yee musnah di mata pemerintah AS hanya karena dia sebagai Muslim taat menjalankan tugasnya sesuai ajaran agama dan perintah negara. Tapi dunia tahu bahwa dia adalah seorang patriot sejati yang hidupnya diabdikan kepada Tuhan dan negaranya.

Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh. Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya. Kita seakan muak dengan kebijakan-kebijakan AS di bawah Bush dengan segala tindak-tanduk primitifnya yang mengacak-acak peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan.

Apakah ‘perang melawan terorisme’ yang digagas Amerika Serikat (AS) benar-benar perang yang ditujukan untuk melawan ekstremisme demi tegaknya demokrasi? Ataukah label itu hanya bungkus bagi perang melawan Islam? Para pejabat AS di lingkaran Bush bersikeras bahwa agenda mereka bersifat politis, bukan religius. Namun faktanya, retorika dan tindak-tanduk AS di lapangan mengubah perang melawan terorisme menjadi perang melawan Islam

[+/-] Selengkapnya...