Total Tayangan Halaman

Selasa, 31 Maret 2009

DEMOKRASI,...dari setan, oleh setan dan untuk setan



Mengharap sukacita dalam berjuang??
Sebuah mimpi yang sangat indah jika saja perjalanan penegakkan syariat ditempuh dengan penuh kesenangan, bunga-bunga harum mewangi bertebaran di kanan kiri, bersama senyum manis dan tepukan riuh rendah dari orang-orang yang simpati. Namun telah digariskan dan telah dirasakan bahwa sejak para rosul diutus hingga sekarang, ternyata jalan ini tak seindah mimpi, jalan yang penuh dengan ujian serta sangat pahit dirasa, tantangan penuh badai bergulung bagai terjangan ombak besar, perangkap bertebaran mengintai tiap langkah siap memangsa, jalannya tak seindah bayangan kita, terbentang luas seolah tak bertepi, mendaki seolah tiada henti, berkelok berlubang dan penuh batuan terjal lagi tajam. Sekali lagi bukan untuk jalan para pencari materi, tapi betul-betul jalan seorang rijal pemberani.

Terkadang seolah mimpi ada di depan mata, disangka sebuah tantangan yang datang dengan hasil gemilang. Tapi bagai fatamorgana yang tak kunjung datang, laa yusminu walaa yughni minjuu’, tidak mengenyangkan dan tidak mengurangi rasa lapar. Sebuah keinginan untuk mengembalikan tegaknya sebuah negeri madani, dimana bersama membangun kembali syariat yang telah mati, dan menjelmakan generasi islam dibawah panji Qur’an dan sunnah nabi, hingga timbul bermacam keinginan dengan perangkap dan ujian.....

Ketika demokrasi menikah siri dengan islam??
Di sisi lain, beberapa aktifis islam terkesima dengan munculnya peluang usaha dalam menggodok ummat. Di era reformasi ini (baca repotnasi), dengan semangat intelektual muda dan dimotori kaum cendekia tarbiyah mencoba menyusuri jalan yang belum pernah dilalui para salafush sholih. Dengan asumsi lebih selamat, realistis, lowcost dan mengatasnamakan ”demi kemaslahatan ummat” mereka bekerja keras dengan nawaitu kuat meleburkan dirinya ke dalam sebuah mangkok yang di sebut parlemen. Mangkok yang didalamnya tidak jelas menunya, mana yang islamis, mana nasionalis, mana sekuleris, mana salibis, mana syubhat, haram dan mana halal..., lalu dengan perhitungan jeli berusaha mewarnai demokrasi dengan warna islam untuk membentuk aturan baru yang terwarnai dengan islam yang mungkin akan menjadi demokrasi islam atau islam demokrat.

Kadang beberapa pertanyaan muncul, andai bukan kita yang mengisi celah yang diberikan demokrasi, lalu siapa lagi. Siapa yang bisa membela ummat islam ketika terdzolimi oleh sebuah perangkat hukum (yang dbuat manusia) kalau bukan ummat islam sendiri. Bagaimana pula jika negeri sebesar ini dikuasai kaum nasionalis, kaum sekuleris, kaum salibis atau kaum yang akan memusuhi islam?? Bagaimana nasib kita nanti? Atau jika kita mampu berdakwah kepada mereka kenapa tidak, toh sangatlah mungkin, insya Alloh, mereka akan simpati dengan kita, mereka akan mendukung kita, yang nasionalis akan mengganti kacamatanya menjadi islam nasionalis, dan bahkan bisa jadi yang memusuhi islam akan berhitung seribu kali dan terbata-bata untuk memusuhi kita...??!!

Demokrasi tidak akan bisa berjalan bersama islam. Kalaupun demokrasi yang menjadi panglima maka islam hanya menjadi tentara cadangan, atau jika islam menjadi raja maka demokrasi akan menjadi panglima yang siap mengkudeta!!? Realistis, bahwa jika pernah terjadi di suatu negara demokrasi yang mengijinkan Al Quran dan sunnah sebagai sumber utama konstitusi negara pasti tidak jalan. Demokrasi mau ngalah, hanya jika syariat islam sifatnya nunut saja, cukuplah islam ngurus warisan, nikah cerai, konsep pendidikan islam, pengaturan wilayah tertentu yang mayoritas warganya islam menggunakan syariat islam dan itupun aturannya harus terbatas dengan hal-hal yang sekedar bernuansa islam. Puncak baik hatinya demokrasi adalah separo saja dari konstitusi boleh diamandemen, bukan semuanya. Lebih dari itu jika syariat ditegakkan dengan sungguh-sungguh, lalu hukum hudud dilakukan, konsep kafir harbi kafir dzimmi dijalankan, riba secara keseluruhan dihilangkan, kemudian jihad ditegakkan, maka demokrasi akan teriak-teriak dengan mengatasnamakan HAM, pluralisme, kesetaraan gender dan kebhinekaan...bahkan balatentara multinasional akan siap senjata dan dana untuk mempertahankan harga diri demokrasi, mengeroyok islam bertubi-tubi.

Jika seandainya ada partai islam di dalam negara pengusung demokrasi yang mengaku dengan terus terang akan menegakkan syariat dalam konstitusi negara, pasti tidak akan diikutsertakan dalam pemilu. Jika ada partai islam di dalam negara yang menuhankan demokrasi, yang dengan jelas menjelaskan program-programnya untuk merubah undang-undang manusia dengan Al Quran dan sunnah, pasti akan dikecam dari segala penjuru. Jika ada partai islam di dalam sebuah negara hamba demokrasi, yang mendukung dakwah tauhid dan memfasilitasi jihad fie sabilillah di seluruh penjuru dunia, pasti akan dicap sebagai teroris atau khawarij gaya baru. Lalu tunjukkan pada kami jika ada partai islam semisal dengan itu. Tunjukkan pada kami partai islam yang akhirnya menang dan dapat survive dalam tekanan dalam negerinya saja,.. belum sampai tekanan luar negeri, FIS Aljazair? HAMAS Palestina? PKK Turki? atau mana lagi... Tanpa mengurangi sedikitpun keutamaan mereka para mujahid yang berjuang fie sabilillah didalamnya, semoga Alloh memberikan tempat yang layak bagi mereka, kelihatannya tak akan bisa berharap, laa yusminu walaa yughni minjuu’, tidak mengenyangkan dan tidak mengurangi rasa lapar.

Lalu bagaimana jika kita tidak ikut serta, jangan-jangan nanti dikuasai orang lain?...Lantas kenapa kalau memang begitu? Lihat saja sejak negeri ini merdeka, siapa presidennya? Apakah mereka mengaku dirinya bukan orang muslim? Semua ngaku muslim, sekali lagi mereka berkata ”saya ini muslim”!! Lalu manfaat bagi islam apa? Tegakkah syariatnya? Kemudian kalaupun toh akhirnya memang negara ini dikuasai nonmuslim lalu kenapa, dan kalau ummat islam terdzolimi juga kenapa? Khan solusinya jelas...JIHAD!!. Malah jika presidennya islam dan ummat islam terdzolimi, kita kadang serba salah! Kalau diperangi, dia sholat, kalau nggak diperangi, dia tidak menegakkan syariat, akhirnya dia malah kita umpat bahkan kita laknat, ... lalu kenapa berjuang dengan demokrasi adalah sebuah pilihan yang tepat....bingungkan.?

Kalau ada yang mengatakan ”jangan terlalu hitam putih dong...”, lalu apa namanya? Islam itu dien yang selamat, sedangkan demokrasi itu menuhankan banyaknya suara, dien yang terlaknat. Yang namanya kebenaran dan kebatilan bagai hitam dan putih, tidak bisa rujuk, tidak bisa bersatu. Jika dipaksa pasti ada yang kalah atau malah tidak orisinil, hitam bukan, putih bukan, mungkin jadi bentuk baru yakni abu-abu. Tidak ada rosul atau sahabat yang abu-abu, mereka semua berwarna jelas, jika ada yang abu-abu Abdulloh bin Abdulloh bin Ubay siap menyelesaikannya, bahkan kepada ayahandanya sekalipun.

Lalu ada kalimat, ”Inikan ikhtilaf dalam mengambil ijtihad politik”!?? Jika dikatakan qunut itu ikhtilaf benar, bacaan basmallah pada sholat jahr adalah ikhtilaf hal lumrah, tapi jika dikatakan berijtihad dalam demokrasi sungguh sebuah dalil yang dicari-cari. Kalau yang dimaksud syuro untuk mufakat itu ada dalilnya, mengambil jumhur ulama dalam sebuah masalah sebagai maroji’ pun ada nashnya. Tapi demokrasi tidak ada nashnya, bahkan larangan mengikuti kebanyakan orang lebih jelas dalilnya, lalu di ranah mana dasar pengambilan ijtihadnya....maksa banget deh.

Mendidihkan ummat dengan parlemen jalanan??
Adalagi yang menarik.., sebuah konsep yang juga dimotori pemuda pemudi yang intelektualitasnya cukup meyakinkan. Membawa term KHILAFAH solusi semua masalah. Misinya sederhana, menggerakkan dan menggalang masa untuk berpartisipasi mendukung tegaknya khilafah. Mereka menolak parlemen karena banyak syubhat didalamnya, mereka lebih familier dengan turun ke jalan sebagai bentuk ekspresi dan apresiasi penegakan syariat. Mengangkat setiap isu nasional maupun internasional terkini dengan mengambil momen pentingnya yang kemudian di skakmat dengan konsep syariat. Mereka pemuda pemudi anti kekerasan, solusi yang ditawarkan adalah damai bersama islam, dan tidak akan angkat senjata kecuali perintah khalifah. Fenomena yang agak mencengangkan, menegakkan syariat tanpa senjata, menunggu munculnya khalifah, berharap menang tanpa ada yang kalah. Bagaimana mungkin syariat tegak tanpa air mata dan darah, sejak diutusnya rosululloh saw, Alloh telah memerintahkan hambaNya dalam menegakkan syariat dengan menenteng kitab suci dan pedang. Artinya syariat ini pasti ada yang menentang dan kewajiban kita untuk mempertahankannya, bukan sekedar berteriak saja sambil bawa umbul-umbul, berbondong-bondong minta dukungan disana sini serta mengecam musuh tanpa menyakiti......sungguh ironi.

Syeikh Usamah berkata tentang Palestina,... di perang tahun 1948, kaum Muslimin saat itu heran bagaimana kita bisa kalah. Padahal yang mengherankan justeru jika ketika itu kita menang. Sebab bagaimana kita menang, sementara penguasa-penguasa kita telah menyerahkan urusan perang kepada penguasa Yordan yang sebenarnya, yaitu Jendral berdarah Inggris, Glubb Pasha.?? Bagaimana mungkin menang suatu umat yang dipimpin oleh musuhnya?..... Di antara kekurangan kita di zaman sekarang, kita dihadapkan kepada banyak jalan yang mengusung slogan-slogan pembebasan Palestina, padahal sebagian besar jalan ini justeru mentelantarkannya. Jalan yang paling besar adalah tindakan penguasa-penguasa hari ini yang mengadakan pertemuan-pertemuan para menteri dan melimpahkan masalah kepada Dewan Keamanan PBB. Ini adalah sebuah cara untuk lari dari tanggung jawab dan mentelantarkan masalah Palestina. Jalan yang lain adalah menuntutnya sebagian ulama dan dai kepada para penguasa untuk membebaskan Palestina. Ini tidak lain adalah cara lain untuk lari dari tanggung jawab dan mentelantarkan darah para syuhada serta mentelantarkan Al-Aqsha. Bagaimana mungkin kita minta tolong kepada kaki tangan musuh-musuh kita?...... Artinya sekencang dan segarang apapun teriakan kita mereka akan tutup telinga, meski mereka menganggukkan kepala.

Namun demikian tetap saja masih ada yang berpikiran instant, berpikir syariat ini tinggal seduh langsung telan, syariat ini bisa dinikmati langsung tanpa melihat proses. Memberikan gambaran-gambaran khasiat syariat tanpa membentuk dulu pola pikir obyek pelaku syariat. Menggambarkan bahwa jika islam tegak maka korupsi akan hilang, kesejahteraan akan muncul, ekonomi akan kuat, kebebasan akan dihormati dan masih banyak tawaran menarik lainnya. Hingga akhirnya esensi penegakkan syariat melenceng dari keharusan penghambaan diri dalam tauhidulloh dan menjadikan tinggi perintah Alloh diatas undang-undang buatan manusia, dengan hanya memberikan jalan keluar lari dari krisis akibat bobroknya liberalisme, kapitalisme dan sekularisme saja. Alhasil demonstrasi yang marak dilakukan hanya seputar dari dan ke masalah perut, dengan jargon jika islam menang maka perut akan kenyang, jika khilafah tegak maka kelaparan akan hilang, jika syariat dilaksanakan kesejahteraan akan meningkat harga akan terjangkau dan sebagainya.

Berpikir syariat segera tegak sehingga dapat menyelesaikan masalah ummat adalah pikiran baik, tapi kurang bijak jika kita mengajak ummat yang sebelumnya hidup jauh dari ketundukan dengan syariat yang lurus, kemudian dikarbit untuk patuh terhadap syariat. Lebih bijaksana apabila prepared terhadap ummat didahulukan daripada slogan-slogan untuk kembali bersyariat. Bukankah jika ummat paham dengan aqidah yang lurus akan serta merta menerima syariat tanpa reserve. Di jaman islam jayapun ada orang miskin, tidak sedikit orang fakir, bahkan hari ini di belahan bumi lain dimana islam berusaha untuk ditegakkan, terjadi juga kemelaratan. Tapi disana tidak ada yang terdzolimi oleh penguasa, kuat aqidahnya sehingga tidak terbujuk akan dunia, mereka ridho dan qonaah terhadap rezeki yang Alloh berikan, bahkan mereka bebas bersyariat tanpa takut kepada manusia.....bandingkan!

Bukan khasiat syariat yang kita iklankan kepada ummat, namun bagaimana kita dapat mempersiapkan ummat untuk menerima syariat tanpa syarat. Jika mendidihkan air saja belum, bagaimana mungkin secangkir kopi akan terasa nikmat, meski kopinya nomer satu sekalipun. Kopi akan tercampur sempurna didalam air yang mendidih, demikian pula syariat pun akan tercampur sempurna di dalam ummat yang telah mendidih, bukan ummat yang adem ayem, sejahtera dengan takaran dunia.

Salafy jihadi jadi pilihan dan jelas bukan salafilih !!
Yang paling menarik adalah ketika tayang perdana film ”The Magnificent 19” disaksikan oleh milyaran pasang mata di seluruh dunia. Sebuah drama yang memicu adrenallin dan menguji fear factor menuju titik nadir. Digambarkan empat buah burung besi menyambar raksasa-raksasa pongah dengan gagah berani. Episode ini membuat terperangah semua mata, baik kawan maupun lawan, keberanian 19 pemuda pasukan istisyhadiyah patut dan layak mendapatkan applause, sebuah fenomena yang sangat membanggakan dan mengharubiru. Black september adalah sebuah nama kesedihan bagi raksasa-raksasa pongah bersama antek-anteknya..., tsalatsu mubarok nama yang kita labelkan atasnya. Yang menjadi lebih menarik lagi adalah setting syutingnya yang digodok sejak tahun 1999 di lembah-lembah dan gua-gua di pojok dunia, dengan perencanaan yang teliti dengan menghasilkan keuntungan spektakuler, 9 September 2001 tayang perdana, menghancurkan gedung twin tower WTC, memporak porandakan markas besar pasukan kafir Pentagon, dan hampir mengoyak gedung parlemen Amerika. Akhir tahun 2008 dampaknya kelihatan, raksasa bernama Lek Sam (Uncle Sam, USA), lebih dikenal dengan USL (United State of Losser), sedang sekarat meradang minta masuk ICU karena nafas ekonominya senin kemis... Bahkan akhirnya pion-pion mereka yang disebar di seantero biladul rafidain ditarik...karena kurang dana.

Sekelompok kumpulan intelektual muda juga, yang mampu menerjemahkan kalimat ”asysyidaa’u alal kuffar..”, dan mereka hanya terdiri 19 orang pengikut jamaah jihad, salafy jihadi, bukan rombongan demonstran yang berbondong-bondong dengan membawa spanduk ”SAVE PALESTINE” atau ”TEGAKKAN KHILAFAH” dengan menggalang massa. Mereka tidak membutuhkan suara banyak untuk menjadi pejuang islam, tidak berkampanye kepada banyak manusia untuk memilihnya, bahkan tidak memasang iklan sebelum acara dilaksanakan, mereka beriklan hanya setelah mereka selesai bertugas, selesai urusan mereka dengan dunia. Kumpulan pemuda yang dapat mengaplikasikan teriakan Ibnu Ruwahah saat bertemu pasukan Romawi, ”...kita berperang bukan karena jumlah, bukan karena kekuatan, tapi semata-mata karena membela Dien ini,..”. Sekali lagi bukan karena jumlah, bukan karena banyaknya suara, bukan karena banyaknya dukungan,...dan bukan karena kekuatan, bukan karena kuatnya legalitas, kuatnya pengaruh....bukan.

Bermula dari sebuah negara yang sarat dengan konflik, bersemailah dedaunan muda muqotillun yang subur, bagai tanaman siap panen, yang dipupuk dengan syariat dan jihad, serta disirami selalu dengan darah-darah syuhada dan air mata ummat, mereka berkembang tak terhentikan. Meski tanah tandus Afghanistan tidak menjanjikan apapun bagi mereka, namun tanah bebatuan yang keras itu membentuk dan mengkristalkan semangat mereka, pelan tapi pasti, merobek jantung-jantung Eropa hingga Amerika, membuat ciut nyali jika mendengar namanya, AL QAIDA, menginspirasi ke seluruh dunia, semangat kembali berjuang dengan menjadi pejuang sebenarnya. Serasa mengembalikan Madinah Al Munawaroh di awal-awal kejayaannya, dengan dimulai di daerah yang kecil yang tegak didalamnya syariat kemudian menjalar hingga 2/3 belahan bumi. Dimulai dari lembah khost Afghanistan, menjalar ke negeri 1001 malam dan entah kemana lagi peluru dan mortir ini akan berhenti. Abu Umar Al Baghdadi menyebutkan jika Afghanistan adalah madrasatul jihad (sekolah jihad) bagi mujahiddin maka Iraq adalah jam’iyatul jihad (perguruan tunggi jihad) untuk mujahiddin. Daerah yang berhasil menggodok ummat dengan tauhid dan aqidah yang kuat, daerah yang hangat dengan seruputan secangkir syariat, karena ummatnya betul-betul matang bukan karbitan, ummat yang dimatangkan dengan jihad. Sebuah hasil yang membanggakan, hasil yang ditempuh dengan pedang, jalan yang dilalui dengan jihad, jalan yang selalu dilewati para salafush sholih dalam mendakwahkan tauhid....., tapi jalan yang kebanyakan manusia lari menghindarinya.

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 30 Maret 2009

Sukses Dunia Akhirat

Namaku Fakhri Mafaza Al Faini, dipanggil "Mafa" atau "Mafaza". Kata Umiku aku lahir di sebuah klinik bersalin, "Bhakti Sejahtera", di kota Semarang. Katanya pula, hari itu Rabu tanggal 25 Oktober 2000 sekitar jam 14.00. Sekarang aku bersekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) MIFTAHUSSALAM di daerah pinggir kota Semarang, tepatnya di Mijen. Cita-citaku belum tahu, mungkin ntar kalo udah lulus SD, penginnya sih jadi MUJAHIDDIN yang bisa utak atik komputer....do'ain ya, semoga sukses dunia akhirat!



Kalau aku, dikasih nama Abiku "Faruq Imaduddin Al Faini", biasanya sering dipanggil "Faruq" yang artinya pembeda, pembeda antara yang benar dan yang salah. Sekarang aku masih di SD tepatnya di SDIT MIFTAHUSSALAM Mijen Semarang. Katanya sih, aku lahir tanggal 4 Oktober 2002 di Semarang. Cita-citaku pengin jadi "dokter mujahiddin", nolongin mujahid yang terluka sekalian bawa senjata merangi orang kafir...Allohu Akbar, semoga di ridhoi, Amin.


Aku anak ketiga dari keluarga ini, namaku "Farhan Ahmad Al Faini", nama kerenku "Farhan". Aku sekolah di SDIT MIFTAHUSSALAM, aku sudah hafal beberapa doa, hadits, surat pendek dan Asma'ul Husna. Lahir di rumah kecil tempat tinggal kami sekarang, tanggal 5 Mei 2005 siang hari setelah sholat dhuhur, cerita umiku sih. Aku punya cita-cita jadi JUNDULLOH yang pemberani,...keren khan.

Nah kalau aku edisi keempat dari keluarga Al Faini, berjudul "Farid Ibadurrahman Al Faini, atau dipanggil "Ibad". Aku belum sekolah, karena aku baru lahir tanggal 25 Agustus 2008, tuh fotoku sedang bobok, imut khan. Cita-citaku sederhana,....besok kalo dah sekolah rajin belajar dan siap jadi pejuang islam, Amin.

[+/-] Selengkapnya...