Total Tayangan Halaman

Rabu, 26 Oktober 2011

Membiasakan Kebenaran bukan Membenarkan Kebiasaan

KALAU anak-anak itu kelak tak menjadikan Robbnya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Alloh. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Alloh kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Alloh dalam suasana menakutkan.

Mereka mengenal Alloh dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Alloh ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Alloh hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang. Astaghfirullohal ‘adziim…

Anak-anak kita sering mendengar nama Alloh ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat "keliru" –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Alloh terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, "Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Alloh nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa."

Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, "E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…? Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Alloh murka, lho."

Setiap saat nama Alloh yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara "mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari". Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka "menjauh" karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Alloh dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.

Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Alloh.

Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Alloh kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.

Mendidik anak tidak sama persis dengan mengajar. Jika mengajar tidak membutuhkan penjelasan tentang tujuan, arah dan prinsip dalam proses transfer knowledge, maka mendidik mendetailkan persoalan itu. Dalam konsep Islam, pendidikan atau biasa disebut tarbiyah, memiliki titik tekan yang sangat fundamental. Menjadikan anak sholih sebagai program utama kehidupan sangatlah tepat dalam menyusuri lintasan amanah tugas di dunia pendidikan. Namun adakalanya tujuan, orientasi dan prinsip tentang kehidupan sebagai seorang muslim kabur atau bahkan tidak dipahami oleh hampir sebagian besar pendidik di lingkungan pendidikan islam. Meski memposisikan diri sebagai TK Islam Terpadu tak jarang melenceng dari tujuan mencetak generasi robbani. Seringnya dijumpai penyaluran potensi kreativitas, atau lebih tepat potensi sensualitas, dalam mengeksplorasi anak didiknya untuk melenggak lenggok menari diiringi music yang bernuansa islami. Sangat mencengangkan dan memilukan, meski mahal toh masih banyak yang berminat untuk ditipu.
Kembali ke masalah tujuan, orientasi dan prinsip, bahwa tujuan kita adalah beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, namun itupun tidak beda dengan ibadahnya kaum toriqot yang melakukan penambahan ibadah bertujuan semata-mata hanya beribadah kepada Alloh. Lalu apa yang salah? Orientasi atau arah yang kita inginkan adalah yang sesuai sunnah rasululloh, lalu apa bedanya dengan dengan teman2 di muhammadiyah? Prinsip pun tidak beda dengan teman2 seperjuangan dalam tarbiyah, lantas apa yang membuat lain? Apa kita hanya sekedar beda, ashobiyah, ini jalan saya, yang lainnya tidak tepat dan sebagainya? Mungkin lupa atau jangan-jangan memang kita belum paham dengan ini semua, lalu bagaimana mungkin persoalan besar dalam mendidik ummat bisa diatas pundak kita.
Mari kita ingat kembali tentang ketiga hal tersebut. Benar tujuan kita adalah Alloh Azza wa Jalla sesuai arahan rosululloh dengan prinsip jihad fie sabilillah sebagai jalannya. Jadi akan sangat beda tujuan, arah dan prinsip kita dengan competitor lain, sekali lagi bukan sekedar beda atau berbeda dengan lainnya, tapi yang jelas ini adalah track yang dijalani oleh rosul dan sahabat. Bukan sekedar mengajar tapi mendidik, tidak sekedar banyaknya peminat tapi penekanan terhadap pewarisan nilai-nali perjuangan, dan bukan pula sekedar mencari ma’isyah tapi lebih jauh lagi yakni mengokohkan eksistensi kita di tengah ummat dengan tarbiyah islamiyah yang jelas orientasinya bukan sekedar tarbiyah bernuansa islamiyah.
Tidak ada anak yang bandel. Kitalah yang tidak tahu bagaimana mengajak bicara, menyemangati, dan memberikan arah hidup bagi mereka. Kitalah yang lupa untuk bermain bersama, bercanda, dan bercerita agar hati mereka dekat dengan kita. Padahal kita tahu kedekatan hati itulah yang membuat anak akan mendengar kata-kata kita.

Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka. Setiap anak–asal normal—lahir dalam keadaan jenius dan penuh rasa ingin tahu. Kitalah yang mematikannya dengan hadiah-hadiah, bahkan di saat mereka tidak menginginkannya.

Kita lupa bahwa anak-anak pada awalnya tidak memerlukan hadiah untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tanpa hadiah, anak-anak tetap bersemangat belajar merangkak dan berjalan, meski harus beberapa kali tersungkur.

Anak-anak tidak pernah meminta uang untuk satu kosa kata baru yang mereka kuasai di waktu kecil. Mereka belajar karena ingin tahu. Mereka melakukan hal-hal besar yang bermanfaat karena bersemangat. Bukan karena menghindari hukuman. Bukan juga untuk mengharap imbalan.
Pernahkah bayi Anda sakit? Apa yang terjadi padanya? Ya, dia akan rewel jika sakitnya sudah benar-benar sangat mengganggu. Lebih-lebih pada malam hari ketika kantuknya datang dan mata tak kunjung bisa terpejam. Tetapi begitu dia mulai sedikit sehat (belum sehat betul), rasa sakit yang mendera tak dirasakannya lagi. Ia bermain-main dengan gembira. Tertawa renyah, berlari-lari, dan berceloteh. Padahal badannya masih panas, nafasnya masih tersengal, dan batuknya belum sepenuhnya reda.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari anak-anak kita yang lucu itu? Fokus dan antusiasme. Pada saat perhatian kita fokus pada satu hal, kita cenderung tidak peka terhadap hal-hal lain sekalipun itu sebenarnya kurang nyaman bagi diri kita. Rasa sakit kita menghilang karena hampir seluruh energi kita mengarah pada sesuatu yang menjadi fokus kita. Semakin kuat fokus kita, semakin besar perhatian kita, serta semakin tinggi kepekaan kita terhadap hal tersebut. Pada saat yang sama kita cenderung mengabaikan hal-hal lain.

Ketika fokus perhatian kita terhadap pendidikan anak sangat kuat, membaca buku sejarah atau politik pun memantik insight tentang pendidikan anak. kita tercenung sejenak, lalu melihat ada yang keliru pada kita saat anak terjatuh. Bukan mengajarinya memahami apa yang terjadi, apa konsekuensinya dan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk masa-masa berikutnya. Tetapi kita menyalahkan sekeliling dan bila perlu melakukan tindakan naif untuk mencari pembenaran.
Hush, itu ayamnya yang nakal. Kita hibur anak sembari melemparkan sandal kita ke arah ayam di seberang sana, atau kita salahkan lantai yang tak bersalah, dan jadilah anak kita belajar menjadi pengecut. Anak terhibur, tetapi kehilangan kesempatan belajar. Anak segera reda tangisnya, tetapi kehilangan daya tahan menghadapi tantangan. Ia belajar melemahkan dirinya sendiri karena orangtua mengajarkannya demikian. Ia tidak belajar memahami tindakannya dan mengendalikan sekeliling. Ia hanya belajar mengendalikan orang tua dan menyalahkan sekeliling. Tidak memahamkan tujuan, orientasi dan prinsip hidup, dan inilah tragedi yang kita tanam sendiri pada jiwa anak-anak kita!


Oleh: Abu Al Faini (disadur dari tulisan Fauzil Adhim dan beberapa sumber)

[+/-] Selengkapnya...